<!– @page { size: 21cm 29.7cm; margin: 2cm } P { margin-bottom: 0.21cm } A:link { color: #0000ff } –>

Walaupun sejak tahun 1904, Lie Kimhok sudah tidak lagi menjadi pengurus THHK, tapi ia sering datang ke gedung THHK untuk membantu atau sekedar omong-omong sumbang saran. Tapi Lie Kimhok masih sering menulis artikel di surat kabar ‘Sin Po’ dan ‘Perniagaan’.

Sampai beberapa hari sebelum Lie Kimhok wafat, beliau masih menulis artikel tentang kebangsaan untuk menarik perhatian orang Tionghoa agar menekankan pentingnya Ajaran Nabi Kong Zi perihal Ren, Yi, Li, Ti, Xin, Zhong, Xiao, Lian, Zhi sehingga dengan begitu bisa mengangkat derajat bangsanya.

Pada tanggal 2 Mei 1912 Lie Kimhok masih berkunjung ke gedung THHK di Patekoan dan kemudian ke kantor surat kabar ‘Sin Po’ di Asemka dan ‘Perniagaan’ di Pintu Besar. Pagi itu beliau masih membicarakan tentang epidemi kolera yang melanda kota Batavia (sekarang Jakarta) dan sekitarnya. Saat itu di surat-surat kabar dimuat iklan yang memujikan semacam obat kolera yang disebut ‘Laudanum’ (nama yang di dalam abad ke-16 diberikan pada candu sebagai obat di Eropa), tetapi tidak dapat dibeli di apotik, jika tidak disertai dengan resep dokter.

Menurut Lie Kimhok perlu diusahakan dan pihak pers diharapkan bantuannya agar orang-orang yang tidak mampu membeli masih bisa mendapatkan obat ‘Laudanum’ itu.

Ternyata itulah hari terakhir Lie Kimhok keluar dari rumahnya, karena esoknya ia telah sakit dan dilarang turun dari pembaringan oleh Dr. W.F. Sikman yang merawatnya. Pada tanggal 4 Mei, Dr. Sikman mengadakan konsul dengan Dr. Sypkens Brouwer. Diagnose ditetapkan bahwa Lie Kimhok terserang typhus.

Pada tanggal 5 Mei malam seisi rumah gelisah, karena Lie Kimhok merasakan dadanya sesak, ia susah bernapas. Dr. Sikman diminta datang lagi lalu memberikan suatu injeksi. Setelah itu Lie Kimhok dapat tidur pulas, sehingga tak seorangpun yang menduga bahwa dia tidak pernah bangun kembali.

Kira-kira pukul 12 tengah malam, barulah anggota keluarganya menemukan bahwa beliau telah berpulang ke haribaan Tian YME. Wajahnya tenang, air mukanya tidak berubah, matanya tertutup seperti orang yang sedang tidur, suatu tanda ketenangan jiwa.

Pada tanggal 6 Mei pagi-pagi, sebelum terbit matahari di muka gedung T.H.H.K. Jakarta berkibar bendera setengah tiang. Harian ‘Sin Po’ dan ‘Perniagaan’ memuat sebuah berita duka sebagai berikut :

Semalam pukul 12 masyarakat Tionghoa telah kehilangan seorang pemimpin yang jujur, Jakarta kahilangan seorang penduduk terhormat dan dunia penulis dan persurat-kabaran kehilangan seorang kawan yang paling diindahkan: Lie Kimhok telah meninggal dunia.

Ia itu adalah mede-oprichter T.H.H.K.-Batavia, yang menjadi organisasi pertama semacam itu di seluruh Indone­sia (1900). Lid-kehormatan (Kie Yu Seng Kong) perkumpulan itu (1906). Dadanya dihias ‘Kung Pai’ (medali tanda berjasa) graad ke-7 dari pemerintah Tiongkok (1909), penyokong berdirinya Tiong Hoa Oen Tong Hwee, Lie Lun Hwee, Djin Tiu Hi dan beberapa sosial lainnya.

Penulis buku dan wartawan Tionghoa-Melayu tertua.

Ia meninggal setelah menderita sakit 3 hari lamanya.

Selanjutnya jenasah beliau dimakamkan di pekuburan Tionghoa di Kota Bambu (Petamburan).

Wafatnya Lie Kimhok tidak menyebabkan THHK menjadi bubar, tapi terasa benar adanya kehilangan seorang tokoh panutan dan teladan (terutama karena belum ada pengganti yang sepadan dengan beliau terutama dalam hal penguasaan agama KHC). THHK mulai kehilangan fokus pada pembinaan agama KHC (apalagi perkembangan agama KHC di Tiongkok juga mengalami hambatan luar biasa besar) sehingga akhirnya seksi keagamaan dalam tubuh THHK berkembang sendiri dan memisahkan diri dengan mendirikan lembaga (khusus menangani masalah) agama KHC yang diberi nama Khong Kauw Hwee. Khong Kauw Hwee inilah yang kelak berganti nama menjadi MATAKIN yang masih ada sampai sekarang dan tetap konsisten memperjuangkan agama KHC di Indonesia. (Lebih lengkapnya silahkan membaca Sejarah Ringkas MATAKIN di website www.Matakin-Indonesia.org)

Definisi Agama KHC oleh Lie Kimhok

Setahun setelah THHK didirikan, masih banyak orang yang tidak mengerti benar apa dan bagaimana THHK itu, bahkan ada yang masih mempertanyakan definisi Agama Khonghucu itu sendiri. Tanggal 3 Agustus 1902, Lauw Tjiang Seng di Tangerang mengirim surat yang berisikan 5 pertanyaan yakni :

1. Apakah orang Tiongkok punya agama yang asli ?

2. Bagaimana mesti melakukan/menjalankan agama itu ?

3. Apakah Ajaran Nabi Kong Zi merupakan agama ?

4. Dari dulu sampai sekarang, kita-kita ini menggunakan agama apa ?

5. Memuja dewa dan leluhur, apakah itu maksud agama Tiongkok ?

Atas pertanyaan ini, THHK telah membentuk satu komisi yang beranggota 4 orang yakni Khow Siauw Eng, Oei Khoen Ie, Tan Chong Long dan Lie Kimhok. Jawaban yang dimuat secara panjang lebar di Majalah Li Po tanggal 14 Februari 1903, secara singkat berbunyi demikian :

1. Masing-masing bangsa di dunia punya ‘pri-sopan’ sendiri. Pri-sopan yang dipakai antara manusia dan manusia disebut ‘adab’ sedang antara manusia dan ‘orang-haloes/roh’ dinamakan ‘agama’. Adab dan agama yang menjadi kesepakatan bersama suatu bangsa dan berlaku secara turun temurun itulah yang dinamakan adat-istiadat. Karena itulah ‘agama’ hanya merupakan sebagian dari adat istiadat itu sendiri. Adat istiadat bangsa Tiongkok yang asli semuanya bersumber pada kitab Si Shu dan Xiao Jing, dimana kedua kitab ini dikatakan sebagai ajaran Nabi Kong Zi. Jadi jawaban dari pertanyaan pertama : Agama asli bangsa Tiongkok terdapat dalam ajaran Nabi Kong Zi !

2. (karena uraiannya sangat panjang, tidak bisa disingkat disini, mohon maaf sebesar-besarnya !)

3. Dari jawaban poin 1, bisa disimpulkan bahwa Ajaran Nabi Kong Zi itu bersifat agama !

4. Seperti halnya kata-kata dalam sebuah bahasa yang bisa bertambah karena masuknya istilah bahasa asing, adat istiadatpun juga bisa bertambah, ini karena sebuah bangsa berinteraksi dengan bangsa lain sehingga bertambah pengetahuan atau mendapat pemikiran baru. Demikian juga adat istiadat Tiongkok mengalami penambahan setelah berinteraksi dengan agama Buddha dan agama Dao. Selanjutnya, karena adat istiadat berhubungan erat dengan agama, maka bangsa Tiongkok lama-lama jadi menerima dan menjalankan tiga agama yakni agama KHC, Buddha dan Dao. Bahkan para Huaqiao yang lahir di Indonesia, ada juga yang mendapat pengaruh dari agama Islam. Karena itu agama yang dianut para Huaqiao di Indonesia ini bersifat campuran.

5. Kong Zi bersabda, “Seorang bijaksana menghormati roh-roh tetapi dari jauh.” (Sabda Suci VI.22:1) Tapi beliau juga bersabda, “Bersembahyang kepada roh yang tidak seharusnya disembah, itulah yang disebut ‘menjilat’.” (Sabda Suci II.24:1) Dalam hal ini leluhur adalah orangtua yang sudah seharusnya dihormati sehingga kita boleh bersembahyang kepadanya. Inilah jawaban dari pertanyaan no 5.

Agama Khonghucu vs Agama Kristen

Kebangkitan Agama Khonghucu melalui berkembangnya THHK dengan gegap gempita ini ternyata menimbulkan rasa iri bagi kaum misionaris Kristen seperti L. Tiemersma, seorang pendeta yang telah menerbitkan dan mengemudikan majalah-majalah Kristen, seperti ‘Bentara Hindia’ (Batavia, 1900-1925) dan bulanan ‘Penabur’ (Kediri, 1925), juga menulis buku-buku seperti ‘Golgotha, beberapa riwayat pada masa raya kematian Tuhan Yesus’ (Batavia, 1894), ‘Kitab pembacaan bagi anak-anak Sekolah yang dipindahkan kapada bahasa Melayu’ (Batavia, 1899), ‘Sobat anak-anak’ (Batavia, 1901), ‘Kasukaran masa raya lahir Tuhan Yesus’, ‘Hal kajadian Langit dan Bumi’, ‘Hikayat segala Nabi’, dan lain-lain.

Sebenarnya perang agama ini sudah dikobarkan Tiemersma sejak awal tahun 1902 terhadap orang-orang yang memperkenalkan ajaran Nabi Kong Zi di majalah Li Po seperti Tan Liong Houw, Tan Han Soey dan Tan Ging Tiong. Begitu juga dengan jawaban atas pertanyaan Lauw Tjiang Seng diatas ini-pun menjadi sasaran tembak dari Tiemersma.

Awalnya Tiemersma memuat penghinaannya ini di majalahnya sendiri yakni ‘Bentara Hindia’ yang menurut kata-kata dan ejaan pendeta itu ‘dikarangkan saminggu sakali’. Lalu atas permintaan pendeta L. Tiemersma sendiri maka penghinaan (terhadap ajaran agama lain yang bertentangan dengan toleransi) ini dikutip juga dalam mingguan Li Po sehingga THHK lalu membentuk komisi khusus yang diketuai oleh Lie Kimhok untuk memberikan jawaban atas serangan tidak bersahabat dan bersifat jahat ini.

Dibawah ini kita bisa melihat bagaimana jawaban Lie Kimhok atas serangan Tiemersma : (ejaan melayu-Tionghoa, sudah diganti ke EYD tanpa mengubah arti – pen)

Tiemersma menulis :

Perumpamaan yang digunakan oleh Komisi THHK adalah salah. Komisi itu menyatakan : ‘Seperti halnya kata-kata dalam sebuah bahasa yang bisa bertambah karena masuknya istilah bahasa asing, agamapun juga bisa bertambah.” (perhatikan bahwa Tiemersma dengan licik telah memotong kalimat sambungannya dan juga mengganti kata adat-istiadat dengan agama). Kalimat ‘agamapun juga bisa bertambah’ bisa diartikan demikian : Agama juga bisa bertambah karena masuknya istilah bahasa asing.

Jawaban Lie Kimhok :

Pembaca tolong lihat dengan baik, apakah kita mengatakan demikian (Agama juga bisa bertambah karena masuknya istilah bahasa asing) ? Mari kita lihat perumpamaan ini : Kita semua tahu bahwa Kijang suka mengenyangkan perutnya dengan rumput dan Harimau suka mengenyangkan perutnya dengan daging. Dalam hal ini bisa kita simpulkan bahwa ada persamaan antara Kijang dan Harimau yakni sama-sama suka mengenyangkan perutnya. Tapi kita tahu bahwa Kijang dan Harimau tidak sama dalam hal lain, terutama jenis makanan yang dimakannya. Begitu juga kalimat ‘Seperti halnya kata-kata dalam sebuah bahasa yang bisa bertambah karena masuknya istilah bahasa asing, agamapun juga bisa bertambah, ….” Dalam hal ini persamaannya adalah perihal proses pertambahan bukan pada apa yang ditambahkan.

Lebih jauh lagi, kalimat itu masih ada sambungannya yakni ‘ini karena sebuah bangsa berinteraksi dengan bangsa lain sehingga bertambah pengetahuan atau mendapat pemikiran baru’. Kalimat penjelas ini justru seenaknya saja dipotong oleh tuan Tiemersma. Disini kita dapat melihat bahwa Tuan L. Tiemersma ini mempunyai ilmu yang aneh ! Kalau dia hendak menyalahkan omongan orang, dia merubah dulu omongan itu dengan sesuka hatinya !

Tiemersma menulis :

Betul seperti yang dinyatakan oleh komisi itu bahwa agama Tiongkok itu adalah campuran. Tapi sayang sekali Komisi tidak periksa sebabnya mengapa jadi begitu.

Lie Kimhok menjawab :

1. Kita tidak pernah mengatakan bahwa agama Tiongkok itu agama campuran. Pada dasarnya agama Tiongkok yang asli adalah agama Khonghucu, tapi jika orang-orang Tionghoa (yang tidak terlalu memahami agama KHC) lalu menerima pengaruh agama lain (seperti Buddha, Dao dan Islam) ini tidak berarti bahwa agama Khonghucu telah berubah menjadi agama campuran. Seandainya agama Kristen (yang diakui murni, tidak campuran) nanti dianut pula oleh sebagian orang Tionghoa, agama itu juga tidak akan bisa dikatakan sebagai agama Tiongkok !

2. Tuan Tiemersma tentu membaca bahwa tujuan komisi THHK dibentuk adalah untuk memberikan jawaban atas 5 pertanyaan yang diajukan oleh tuan Lauw Tjiang Seng, jadi kita memang tidak diperintahkan cari tahu mengapa orang Tionghoa sampai menganut agama campuran.

Tiemersma menulis :

Agama Buddha bukan datang ke negeri Tiongkok atas kemauan orang India, melainkan karena kaisar Han Ming Di telah untuk pendeta Buddha untuk mengajarkan agamanya. Rupanya kaisar itu dan bangsanya merasa dalam hatinya bahwa Agama Khonghucu itu tidak cukup sebagai bekal bagi manusia.

Lie Kimhok menjawab :

Sayang Tuan Tiemersma tidak menyebutkan berapa orang bangsanya kaisar yang ikut merasakan demikian. Kesimpulan bahwa pikiran kaisar Han Ming Di sama dengan pikiran seluruh bangsa Tiongkok adalah ngawur. Saat hendak mengundang pendeta agama Buddha, kaisar tidak pernah menghubungkan hal ini dengan agama KHC, juga tidak lebih dulu mengadakan referendum untuk menanyai pendapat rakyatnya, jadi kesimpulannya ini adalah pikiran kaisar itu sendiri.

Sebenarnya ketika kaisar Han Ming Di menceritakan mimpinya tentang Raksasa bertubuh emas yang dikatakan menterinya sebagai Buddha, ini menunjukkan bahwa agama Buddha itu sebenarnya sudah sampai di Tiongkok pada masa itu sehingga si menteri bisa mengetahuinya. Ini juga menunjukkan bahwa agama dari India itu sebenarnya tidak mendapat perhatian dari rakyat Tiongkok.

Justru setelah kaisar berinisiatif mengundang pendeta agama Buddha ke istana, barulah orang-orang mulai memperhatikan ajaran agama Buddha. Hal ini tidak perlu diherankan karena apapun yang diperbuat seorang kaisar pasti akan ditiru oleh rakyatnya. Ada banyak bukti tentang hal ini : Jaman sekarang kalau Gubernur Jendral suka datang ke gereja, maka banyaklah orang-orang Eropa yang berbondong-bondong pergi ke gereja, terutama pada pejabat. Dulu saat kaisar Belanda Wilhem II merubah potongan kumisnya, hal ini segera ditiru oleh rakyat Belanda ! Jadi kalau agama Buddha kemudian banyak dianut orang di Tiongkok, ini bukan karena Agama KHC tidak cukup bagi umat manusia melainkan karena pengaruh dari kaisar Han Ming Di sendiri.

Tuan Yoe Tjai Siang adalah seorang Kristen yang justru dituduh sendiri oleh tuan Tiemersma bahwa dia telah berusaha mencampurkan agama Kristen dengan agama KHC. Dalam kasus ini, apakah perbuatan Yoe Tjai Siang ini dapat diartikan bahwa agama Kristen itu tidak cukup menjadi bekal bagi manusia karena itu harus dicampur dengan agama KHC ? Kita hanya bisa berkata, “Sayang Yoe Tjai Siang itu tidak seberuntung Martin Luther yang berhasil merubah agama Katolik menjadi agama Kristen Protestan. Apakah ini bisa disimpulkan bahwa Agama Kristen tidak cukup bagi umat manusia sehingga harus muncul agama kristen versi berikutnya ?” Sejauh ini kita belum berpikir dan tidak ada niat untuk memikirkannya, mengapa agama Kristen justru terus terpecah-pecah, bahkan Kristen Protestan yang didirikan Luther pecah lagi menjadi Kristen Hervormde, Kristen Gereformeerde dan lain-lain hanya karena perasaan tidak puas dari Zwingli, Calvin dan lain-lain. Jadi tidak heran bukan jika jaman ini ada orang (Yoe Tjai Siang) yang merasa bahwa Agama Kristen tidak cukup bagi umat manusia sehingga harus dirubah atau dicampur dengan agama Khonghucu !

Besar harapan kami agar keterangan ini dapat dimuat juga dalam surat kabar ‘Bentara Hindia’ dan ‘Loen Boen’.

Tidak diketahui apakah jawaban Lie Kim Hok yang brilian ini dimuat dalam majalah kristen asuhan L. Tiemersma, tapi majalah Li Po tanggal 11 Juli 1903 memuat pengakuan dari Tiemersma yang menyatakan demikian : “Baba Lie Kimhok itu mempunyai pikiran yang tajam. Dan hati orang yang berpikiran tajam itu tiada lekas terpuaskan …”

Dengan alasan ini, hingga berbulan-bulan kemudian, pendeta Tiemersma terus mengobarkan ‘perang agama’, tapi lama tak ada jawaban dari Lie Kimhok ataupun THHK. Ternyata Komisi THHK ini tidak pernah berniat menyerang agama lain dan komisi pimpinan ini khusus dibentuk untuk memberikan jawaban karena jawaban komisi sebelumnya telah dikritik tanpa dasar oleh pendeta Kristen ini. Setelah memberikan jawaban seperti tersebut diatas, komisi ini dibubarkan karena tugasnya telah selesai.

THHK maupun Lie Kimhok tidak mau terseret dalam ‘perang agama’ sehingga penghinaan-penghinaan Tiemersma yang nyata-nyata tidak berkaitan dengan THHK tidak ditanggapi.

Karena tidak ada jawaban, lama-lama banyak pembaca ‘Li Po’ yang merasa jemu membaca ‘penghinaan’ Tiemersma itu lalu mendesak kepada redaksi mingguan itu, agar tulisan-tulisan semacam itu tidak dimuat lagi.

Redaksi dan administrasi ‘Li Po’ tidak segera mengambil putusan, melainkan memajukan pertanyaan kepada komisi T.H.H.K. apakah keterangan-keterangan pendeta Tiemersma sudah cukup ?!

Komisi THHK membalas sebagai berikut: (termuat dalam Li Po, 10 Oktober 1903)

“Dengan sepengetahuan para pengurus THHK dan presiden THHK, atas nama kita berempat yakni Khoe Siauw Eng, Oei Khoen Ie, Tan Chong Long dan Lie Kimhok (karena karena komisi THHK sudah dibubarkan) mohon supaya diteruskan saja memberi tempat di dalam ‘Li Po’ guna memuat tulisan-tulisan kiriman tuan L. Tiemersma. Tapi mengenai hal menerangkan bunyinya ayat-ayat dari Kitab Suci Kristen itu sebenarnya bukan tempatnya di dalam mingguan ‘Li Po’ ini.

Selain itu kita malah mengucapkan banyak terima kasih pada tuan L. Tiemersma karena dengan serangannya terhadap kita, kini THHK bisa terlepas dari satu tuduhan salah, yang dituduhkan padanya.

Di dalam rumah THHK memang tidak terdapat altar pemujaan Toapekkong sehingga karena hal ini banyak orang Huaqiao yang menuduh bahwa “THHK itu satu perkumpulan Kristen yang berkedok Khonghucu.”

Kini karena jawaban THHK yang terdahulu jelas-jelas bertentangan dengan tuan L. Tiemersma, maka tuduhan itupun mulai hilang sehingga dan THHK mendapat tambahan banyak anggota baru.

Kita juga berharap, dengan adanya karangan-karangan dari tuan L. Tiemersma gereja Kristen pun nanti akan mendapat tambahan banyak anggota.”

Penyelesaian yang brilian bukan ? Jika semua pemimpin agama di negeri ini sehebat Lie Kimhok, mana mungkin ada pertikaian antar agama atau bahkan ‘perang saudara sesama agama’ seperti yang terjadi saat ini ? Saling klaim paling benar dan menuduh orang lain ‘sesat atau kafir’, itukah demokrasi yang diimpi-impikan bangsa ini ?

Sebagai penutup bagian ini, kurang afdol jika para pembaca sekalian tidak mengetahui seperti apa penghinaan L Tiemersma terhadap agama KHC. Ini bukan untuk membuka kembali perang agama melainkan tantangan umat KHC jaman sekarang untuk menjawabnya jika nanti ada umat agama lain yang mengungkit-ungkitnya lagi. (Ingat perdebatan atau diskusi tidak boleh mengungkit masalah pribadi orang yang diajak berdebat melainkan mendebatkan apa yang menjadi topik pembicaraan !)

1. “Sekarang ini bangsa Tionghoa terlebih tersesat dari pada zaman Kong Zi…”

2. “Bahwa orang yang mau jadi selamat dunia akherat melalui agama Khonghucu adalah seperti orang yang mau pasang suluh yang basah atau seperti orang yang menunggu embun di tengah hari…”

3. “Agama Kristen dan agama Tiongkok dibandingkan satu sama lain, makin nyata jauh bedanya…”

4. “Bahwa jauh bedanya agama Kristen dengan agama kafir, dua-duanya tidak dapat disamakan. Bagaimana sembahyang kepada orang yang sudah mati dapat disamakan dengan sembahyang kepada Allah yang hidup…”

5. “Perbedaan antara agama Kristen dengan agama Tiongkok tiada dapat dikurangkan. Dua agama itu tiada dapat didekatkan satu sama lain. Oleh jalan begitu itu tidak boleh jadi perdamaian…”

6. “Pasang petasan juga menjadi tanda, bahua agama Tiongkok menakuti orang Tionghoa…”

7. “Orang Tionghoa membikin rumahnya seperti bui, yaitu sebabnya agama menakuti dia. Mereka tidak berani membuat banyak pintu dan jendela di muka jalan besar, sebab takut rohnya orang mati masuk rumah lalu akan mengganggu isi rumahnya…”

(dimuat di ‘Bentara Hindia’, ‘Loe Boen’ dan ‘Li Po’ antara bulan Mei 1902-Sept 1902)

Lie Kimhok

Lie Kimhok dilahirkan di Kampung Tengah di Bogor (dulu masih disebut Buitenzorg) tanggal 1 November 1853 dari pasangan Lie Hian Tjouw (? – 1880) dan Oey Tjiok Nio (? – 1879). Sebenarnya Lie Hian Tjouw berasal dari Bogor tapi sejak tahun 1864, ia pindah dan bekerja di Cianjur sebagai pegawai sebuah penggilingan beras di Kampung Sayang merangkap sebagai tukang cat. Sedang istrinya, Oey Tjiok Nio membuka sebuah toko kecil di rumahnya yang menjual kain dan benang.

Karena kedua orangtuanya tidak mempunyai sanak saudara dan juga tidak mengenal dukun beranak di daerah Cianjur, maka saat akan tiba waktu melahirkan, Oey Tjiok Nio dibawa ke Bogor oleh Lie Hian Tjouw, ditinggalkan di rumah asalnya yang ditempati oleh seorang sanak keluarganya. Setelah bersalin, Oey Tjiok Nio dan Lie Kimhok yang masih bayi dijemput balik ke Cianjur.

Sejak kecil sekali, Lie Kimhok sudah menunjukkan bakat senang belajar dan membaca. Jika ia berbuat sesuatu kekeliruan, ia memukul-mukul dahinya dengan telapak sebuah tangannya, seperti tanda amat menyesal. Sejak usia 7 tahun, dia sudah mulai bisa menulis sedikit kalimat dalam bahasa Sunda dan Melayu.

Pendidikan Semasa Muda

Hingga berusia 10 tahun, Lie Kimhok belum sempat bersekolah. Ia menerima didikan ayahnya yang bertradisi Tionghoa kuno dan ibunya yang beradat kebiasaan dan berkepercayaan Indonesia setempat. Baru pada tahun 1863, untuk pertama kali Lie Kimhok menuntut pelajaran umum di sekolah Zending pimpinan C. Albers dan di sekolah itu pula ia menerima didikan secara Kristen (1863) yang ditandai dengan berdoa waktu mulai belajar (jam 7 pagi) dan waktu mau pulang (jam 11 siang). Tapi tak lama sekolah ini ditutup pemerintah Belanda dengan alasan Albers tidak mempunyai Kartu Penduduk. Baru dua tahun kemudian (1865), sekolah ini dibuka kembali dan Lie Kimhok kembali bersekolah. Tapi setahun kemudian, Lie Kimhok terpaksa ‘putus-sekolah’ lagi karena ayahnya harus balik pindah ke Bogor (1866).

Tiga tahun lamanya (1866-1869), Lie Kimhok belajar sekolah Tionghoa partikelir yang gurunya terus berganti-ganti (Tan Liok Ie, Phoa Tjiok Lim dan Kouw Boen Hong) sehingga tidak banyak yang dia peroleh dan Lie Kimhok tetap tidak bisa membaca huruf Hanzi ! Tapi menurut Lie Kimhok pada waktu ia berusia lebih lanjut, justru pelajaran yang diperolehnya dalam waktu 3 tahun itulah yang telah memberikannya sesuatu yang bernilai. Saat itu ia hanya menghafalkan ujar-ujar Nabi Kong Zi seperti ‘ren bu zhi, er bu yun, bu yi junzi hu ?’ (Sekalipun orang tidak mau tahu, tidak menyesal, bukankah itu sikap seorang Junzi) dan ‘xue xi di yi’ (Belajar itu yang paling penting/nomor satu) tanpa tahu apa artinya. Kelak ketika ia diberitahu sahabatnya tentang arti kata-kata itu, ia sangat terkejut karena sabda Nabi itu sesuai benar dengan pikirannya selama ini dan dia mengakui bahwa tidak ada kata lain yang bisa menyamai ketepatan dari kata-kata itu.

Pertengahan tahun 1869, zendeling S. Coolsma mulai membuka sekolah-zending di Bogor. Lie Hian Tjouw yang berpandangan maju dan mengakui bahwa ilmu pengetahuan barat jauh lebih maju (ketimbang Tiongkok pada masa itu) segera menyekolahkan anaknya di sekolah zending itu. Disini yang menjadi guru Lie Kimhok adalah S(ierk) Coolsma sampai tahun 1873 dan seterusnya dilanjutkan oleh Van der Linden. Linden inilah yang paling lama mengajar Lie Kimhok sehingga hubungan guru dan murid ini menjadi begitu dekat.

Saat itu Lie Kimhok telah duduk sebagai murid kelas tertinggi dan sambil melanjutkan pela­jarannya, ia membantu mengajar di kelas-kelas rendahan sebagai ‘pembantu guru’ dengan menerima uang saku f 5,- sebulannya. Di bawah bimbingan Van der Linden, Lie Kimhok menamatkan pelajaran rendah dan bekerja di percetakan Zending dengan mendapat ongkos jalan f 40,- sebulannya. Pada waktu-waktu yang senggang ia menerima juga pelajaran lanjutan dari zendeling Van der Lin­den.

Van der Linden memiliki sebuah percetakan, dibeli dari Ds. E.W. King, prediken Vrije Schotsche Zending (Rehoton Zendingspers) di Jatinegara bersama hak-hak penerbitannya. Majalah-majalah Kristen yang diambil oper itu ialah ‘De Opwekker’ (bulanan bahasa Belanda) dan ‘Bintang Johar’ (lanjutan ‘Bianglala’), setengah bulanan, sebagian Belanda, sebagian pula Melayu. Percetakan itu dipindahkan zendeling Van der Linden dari Jatinegara ke Bogor, dan Lie Kimhok turut serta mengurus majalah-majalah itu. Karena itulah pengetahuan Lie Kimhok tentang agama Kristen sebenarnya jauh lebih mendalam dari Huaqiao manapun di Hindia Belanda saat itu. Yang pasti Lie Kimhok tidak pernah dipermandikan secara Kristen seperti Huaqiao lain yang terpengaruh setelah mendapat didikan secara Kristen.

Pada awalnya, Lie Kimhok ketika masih muda sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Kristen. Itu bisa dilihat dari buku-buku berbahasa melayu karyanya seperti ‘Kitab Eja’ dan ‘Sobat Anak-Anak’ yang mana didalamnya terdapat banyak puji-pujian terhadap Tuhan yang sangat dipengaruhi oleh agama Kristen. Begitu juga dalam doa-doa yang terdapat dalam syair ‘Siti Akbari’.

Coolsma mengatakan, nafsu belajarnya Lie Kimhok besar sekali (de honger van zijn geest was groter dan die van zijn maag). Van der Linden berpendapat, patutnya Lie Kimhok menjadi guru sekolah (hij was geschikt voor onderwijzer). Caranya mengajar sabar dan jelas, sederhana dan mudah dipahamkan oleh murid-muridnya. Ia mengerti baik bahasa Sunda dan Melayu. Bahasa Belandanya pasif cukup baik (ruim voldoende), aktif kurang lancar. Pada masa itu sangat jarang orang Tionghoa yang bisa berbahasa Belanda. Hanya anak-anak hartawan kaya atau anak kapten Tionghoa yang diberi ijin oleh pemerintah untuk belajar di sekolah-sekolah yang didirikan bagi anak-anak bangsa Eropa.

Karena anjuran gurunya untuk dapat menampung anak-anak yang tidak mendapat kesempatan bersekolah pagi, Lie Kimhok sendiri telah membuka sekolah yang ia pimpin sendiri di Kampung Tengah, dekat rumah tinggalnya.

Untuk membantu murid-muridnya mempelajari bahasa Melayu, Lie Kimhok telah menciptakan suatu sistem ejaan agar bisa memudahkan murid-murid yang mempelajari bahasa Melayu. Beberapa bekas muridnya di sekolah-partikelir ini pernah membicarakan tentang buku ‘Ba Da Fa’.

Kelak sistem ciptaannya ini dicetak men­jadi buku dengan judul ‘Kitab Edja’. Karena pengetahuannya yang cukup mendalam, Lie Kimhok bahkan melakukan pelbagai perbaikan terhadap bahasa Melayu Rendah yang dia namakan sebagai ‘Melayu-Betawi’. Pada akhir abad ke-19 di Jakarta gempar tersiar berita, hampir saja ‘Malayu-Batawi’ itu dipakai di sekolah-sekolah pemerintah; hanya karena Lie Kimhok merasa keberatan pada perubahan-perubahan yang hendak diadakan, maka kesudahannya telah dipakai ‘bahasa’ (ejaan) Ophuysen. Ejaan Ophuysen inilah yang menjadi sistem ejaan pertama Bahasa Indonesia.

Entah karena rasialis (karena penciptanya orang Huaqiao) atau karena alasan tertentu yang tidak diketahui, HB Jassin bahkan kemudian menolak menyebut bahasa Melayu-Batawi ini sebagai cikal bakal bahasa Indonesia. Pemerintah RI mengikuti cara HB Jassin ini sehingga semua karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu-Betawi ini tidak diakui sebagai sastra Indonesia. Karena penggunaan bahasa Melayu-Betawi ini tersebar luas tidak hanya di Betawi, maka bahasa ini kini lebih sering disebut Bahasa Melayu-Tionghoa !

Suka dan Duka Menempa Jiwa

Pada masa itu pemuda-pemudi Huaqiao biasa kawin muda dalam usia belasan tahun, tapi hingga mencapai usia 23 tahun, Lie Kimhok tetap seorang ‘perjaka tua’. Ayahnya bukannya tidak berusaha menjodohkan anaknya, tapi memilih jodoh yang baik memang tidak mudah apalagi Lie Kimhok sendiri tampak sedikit ‘takut’ untuk menikah. Lie Kimhok sering membaca buku dan sering mendapati cerita tentang seorang istri yang tidak dapat ‘menjadikan rumah sebagai surga, yang polos menjadi berwarna, yang mati bersemangat dan yang gelap menjadi terang’.

Sebaliknya ayahnya, Lie Hian Tjouw sangat berhati-hati dalam mencari menantu. Ada gadis yang elok, tetapi genit; ada yang alim dan cantik, tetapi cacat nama keturunannya atau orang tuanya berpenyakit loksun (TBC), gila atau tayko (lepra) yang dianggap dapat menurun ke anak cucu. Akhirnya pilihan Lie Hian Tjouw jatuh pada putri Oey Giok Djoe di Gadok, Bogor Selatan yang bernama Oey Pek Nio alias Roti, saat itu berusia 16 tahun, sedang Lie Kimhok berusia 23 tahun.

Oey Pek Nio itu tidak cantik jelita, orangnya kecil dan kurus, kundainya besar, dan meskipun tidak memenuhi seluruh keinginan, tetapi dia terkenal karena Laku Baktinya kepada kedua orang tuanya, sopan, rajin, keturunan baik dan tidak dikhawatirkan mengandung sakit turunan.

Lie Kimhok tidak bisa menolak ketika akhirnya dinikahkan dengan Oey Pek Nio pada tahun 1876. Dan ternyata kekhawatiran Lie Kimhok itu tidak beralasan sama sekali. Oey Pek Nio ternyata seorang istri yang ‘sempurna’ sehingga Lie Kimhok merasakan banyak waktu yang berbahagia di samping istrinya ini.

Setahun kemudian (1877), Oey Pek Nio melahirkan seorang bayi, tapi sayang sang bayi tidak berumur panjang dan meninggal dunia tak lama kemudian.

Tahun 1879, ibunda Lie Kimhok yakni Oey Tjiok Nio meninggal dunia. Setahun kemudian, sang ayah, Lie Hian Tjouw juga menyusul ke alam baka. Sebelum meninggal dunia, Lie Hian Tjouw berpesan, “Tahukah kamu, anak-anakku, keinginan terbesarku adalah melihat kamu berhasil di dalam hidupmu, keinginan ini bahkan besarnya melebihi kecintaanku kepadamu; demikian juga kekecewaan, rasa malu dan kedukaanku yang terbesar adalah jika kamu tidak berhasil sebagai orang baik-baik dan sopan.”

Sepeninggalan ayahnya, Lie Kimhok harus memikul beban sebagai kepala keluarga. Karena pekerjaan membantu gurunya, Van der Linden di percetakan Zending tidak memberikan nafkah yang cukup, maka Lie Kimhok harus mencari pekerjaan yang lain. Ia juga terpaksa menyerahkan ‘sekolah-partikelir’ miliknya kepada Oey Kim Hoat alias ‘Empek Kuntil’. Selanjutnya ia bekerja sebagai pembantu landmeter Van Deventer di Bogor, kemudian menjadi potiah (pengurus tanah partikelir) Thio Thian Soe di Kedunghalang (Bogor) dan kemudian dipindahkan ke Telukbuyung (Bekasi). Pekerjaan ini dijalaninya antara tahun 1880-1885.

Tahun 1881, Oey Pek Nio melahirkan seorang bayi bagi Lie Kimhok, tapi 22 hari kemudian istri tercinta itu meninggal dunia. Terpaksa bayi itu dikirim ke Gadok, ke rumah kakek luarnya, Oey Giok Djoe untuk dirawat di sana.

Kesedihan yang datang berturut-turut ini menimbulkan kedukaan yang amat dalam sehingga ia kemudian menduda selama 10 tahun lamanya.

Selama 5 tahun pertama Lie Kimhok tidak beristri lagi, orang menyangka, mungkin ia tidak ingin anak satu-satunya akan mendapat ibu tiri. Tapi tahun 1886, anaknya yang dirawat di Gadok juga meninggal dunia. Dan selanjutnya selama 5 tahun lagi dia tetap menduda.

Kedukaannya yang teramat dalam akibat kehilangan ‘belahan jiwanya’ itu diam-diam ditumpahkannya dalam sajak dan puisi. Walaupun Lie Kimhok merahasiakan kedukaan hatinya ini dan tidak ingin orang lain tahu, tapi beberapa ‘ungkapan hati’nya ini sempat muncul dalam karya-karya tulisnya.

Tak lama setelah Lie Kimhok meninggal dunia, sajak ungkapan hatinya yang diberi judul ‘Mijn Hart’ ini ditemukan dalam sebuah teromol (peti kaleng). Sajak ini belum pernah diberitahukan kepada siapapun dan tampaknya Lie Kimhok memang tidak berkeinginan untuk menerbitkannya. Tapi beberapa baris kalimat didalamnya sempat muncul dalam karyanya yang berjudul ‘Tjhit Liap Seng’ dan ‘Melayu-Betawi’.

Jiwa Khonghucu mulai memancar

Pada pertengahan kedua tahun 1885, guru Lie Kimhok yakni Van der Linden meninggal dunia sehingga percetakan Zending tidak ada yang mengurus. Nyonya Van der Linden lalu menawarkannya kepada Lie Kimhok dengan perjanjian ringan (f 1000,- yang dapat dibayar secara diangsur).

Dengan pertolongan sahabat-sahabatnya dalam hal finansial, Lie Kimhok setuju untuk membeli percetakan itu, yang kemudian dipindahkan dari Pledang Tengah ke Kampung Tengah (rumah No. 182), tidak jauh dari rumah tempat tinggalnya sendiri (rumah No. 150).

Walaupun sejak muda sudah mendapat pengajaran tentang agama Kristen yang cukup mendalam, terutama dari tiga orang guru yang sangat dihormatinya, tapi Lie Kimhok memang terlahir dan ‘berjodoh’ dengan agama Khonghucu.

Awalnya Lie Kimhok muda sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Kristen. Tapi pengaruh agama KHC dalam Lie Kimhok jauh lebih kuat dalam dirinya. Dalam agama Kristen lebih ditekankan tentang ‘Cinta Kepada Tuhan’ dan bahkan Yesus pernah berkata, “Tinggalkan semua orang yang engkau kasihi dan ikutlah denganku.” Sebaliknya agama Khonghucu lebih menekankan pada Laku Bakti (Xiao) dan Kemanusiaan (Ren).

Rasa hormat dan cinta, Lie Kimhok terhadap para gurunya, yang tak lain adalah para misionaris kristen itu, begitu murni dan tulus. Jauh lebih menyerupai ajaran Laku Bakti dalam agama KHC ketimbang Cinta Kasih dalam agama Kristen.

Sejak gurunya, Van der Linden meninggal dunia dan dikuburkan di pemakaman (untuk orang Eropa) Kebun Jahe, Bogor, setiap tahun setiap hari raya Paskah dan Natal, Lie Kimhok senantiasa datang berziarah ke makam gurunya itu. Mana ada orang Kristen yang melakukan hal seperti ini ? Walaupun tidak sehebat Zi Gong yang berkabung dan menjaga kuburan Nabi Kong Zi selama 6 tahun penuh, selama 10 tahun sejak kematian gurunya, Lie Kimhok tidak pernah lupa berziarah ke sana sehingga hal ini cukup mengherankan bapak penjaga pekuburan yang menyaksikan seorang Huaqiao, datang mengheningkan cipta dan menabur bunga di makam seorang Belanda. Setiap kali bapak penjaga kuburan itu bertanya tentang siapa dirinya, Lie Kimhok senantiasa menjawab, “Babah dari pasar …”

Kecintaan Lie Kimhok terhadap agama Khonghucu semakin nampak ketika ia menulis buku ‘Hikayat Khong Hoe Tjoe’ pada tahun 1896, yang lalu diterbitkan oleh percetakan G. Kolff & Co. pada tahun 1897. Mengapa pengaruh agama KHC ini begitu lambat ‘memancar keluar’ dari dalam diri Lie Kimhok ? Mungkin karena Lie Kimhok tidak mengenal bahasa Mandarin sedikitpun sehingga ia tidak bisa mempelajari agama KHC dari bahasa aslinya. Bahkan buku ‘Hikayat Khong Hoe Tjoe’ ini diterjemahkan oleh Lie Kimhok dari bahan-bahan berbahasa Belanda !

Ini adalah usaha pertama kali untuk memperkenalkan kembali nama besar Nabi Kong Zi kepada orang-orang Huaqiao-Indonesia yang selama berabad-abad ‘dibodohkan’ oleh pemerintah Kolonialis Belanda.

Lie Kimhok dan THHK

Nama Lie Kimhok tercantum sebagai salah satu dari 20 pendiri Tiong Hoa Hwe Koan (THHK). Walaupun hanya menjabat sebagai penulis sementara merangkap anggota komisi yang merencanakan Anggaran Dasar dan di dalam pengurus tetap ia tercantum sebagai salah seorang komisaris, tetapi hampir semua pekerjaan tulis-menulis dilakukan olehnya, termasuk ‘Surat Kiriman’ yang disebarkan kepada Huaqiao di Batavia dalam wujud brosur dan kemudian dimuat pula di surat-surat kabar, setelah T.H.H.K. Batavia disahkan pemerintah Hindia Belanda tanggal 3 Juni 1900.

Peran penting Lie Kimhok bagi THHK diutarakan sendiri oleh Khouw Kim An, salah satu pendiri THHK, yang mengatakan : “… antara orang-orang yang giat ikhtiarkan pendiriannya itu perkumpulan ada tuan Lie Kimhok.” Di buku ‘Riwayat 40 Tahun T.H.H.K.’ dimuat juga potret Lie Kimhok dan untuk usaha-usahanya dalam tahun-tahun pertama berdirinya perkumpulan itu, nama Lie Kimhok disebut lebih 30 kali: halaman-halaman 5,6,13,16,18,19,28,29,30,31,32,33, 35, 36, 54, 55, 61, 64, 81, 83, 92, 120, 124, 125, 127, 133, 143, 199, 203, 213, 222, 229, 235, 236 dan 276.

Tan Goan Kiat (anggota-anggota T.H.H.K.-Bogor) menyatakan, anggaran dasar T.H.H.K.-Jakarta telah direncanakan oleh Lie Kimhok, digunakan sebagai contoh dan pokok oleh T.H.H.K.-T.H.H.K. di seluruh Indonesia. Perkumpulan demikian memang angan-angan Lie Kimhok kira-kira sejak 20 tahun sebelum TH.H.K. pertama berdiri.

Tan Chong Long (1885-1945) sebagai anggauta-pengurus T.H.H.K.-Jakarta berkata: “Kegiatannya mengurus Hwee Koan mengagumkan, kerelaannya guna masyarakat mengirikan hati.”

Riwayat Lie Kimhok ini sudah coba disingkat dan diambil intinya yang berhubungan dengan agama KHC. Karena sudah dirasa sudah terlalu panjang, maka terpaksa dihentikan sampai disini. Pada bagian selanjutnya akan dituturkan tentang kiprah Lie Kimhok membela Agama KHC dalam kapasitasnya sebagai anggota THHK.

(Bersambung)

Maka kata-kata yang tidak senonoh itu akan kembali
kepada yang mengucapkan.
bagaimana standarisasi haram dan halalnya?
kata-kata yang tidak senonoh yang bagaimana yang
dimaksudkan?

Kalo pertanyaan standarisasi ini yang repot :p
Kalo kita ketemu orang bule lalu kita maki dengan
bahasa indonesia. Bisa-bisa dia tersenyum karena tidak
mengerti apa yang kita ucapkan dan mengira kita sedang
menyapanya. Lalu apakah kita harus mencatat semua
kata-kata tidak senonoh dari seluruh dunia untuk
dijadikan kamus ?

Tentang kata-kata yang tidak senonoh akan kembali
kepada yang mengucapkan. Saya terpaksa pinjam cerita
dari Zen untuk menjelaskannya.
Ada seorang usil yang ingin menguji kesabaran seorang
guru Zen. Ia lalu menemui guru Zen itu dan berkata,
“Setelah bertemu dengan anda, saya baru tahu bagaimana
rupa dari setan itu !” Sang guru Zen tidak marah dan
malah menyahut, “Setelah bertemu dengan anda, saya
baru tahu bagaimana rupa dari Buddha itu.”
Mendengar jawaban itu, orang ini menjadi sangat malu.
Tadinya dia ingin membuat guru Zen ini marah dengan
kata-katanya yang tidak senonoh, tapi akhirnya dia
sendiri yang merasa malu. Mengapa demikian ? Karena
orang yang suka berkata yang tidak senonoh sebenarnya
kata-kata itu merupakan ungkapan dari apa saja yang
dipikirkannya. Sedang guru Zen ini membalas kata-kata
tidak senonoh dengan kata-kata yang baik karena selama
ini yang ada dalam pikirannya hanyalah tentang hal-hal
yang baik saja !
Karena itulah dikatakan : Kata-kata yang tidak senonoh
itu akan kembali kepada yang mengucapkan.

Jadi bagaimana batasannya kata-kata tidak senonoh.
Cukup satu kata : jika tidak sesuai Kesusilaan !
Kong Zi bersabda, “Yang tidak susila jangan dilihat,
yang tidak susila jangan didengar, yang tidak susila
jangan dibicarakan dan yang tidak susila jangan
dilakukan.” (SS XII.1:2)

tanya :

apa perbedaan kitab Chunqiu Jing dan Shu Jing ? bukankah keduanya merupakan kitab sejarah yang ditulis Kong Zi?

jawab :

Kitab Shu Jing mencatat sejarah mulai dari
jaman Yao (2356 SM – 2255 SM) hingga masa rajamuda Qin
Mu Gong (659 SM – 625 SM). Isinya berupa dokumentasi
pidato atau maklumat dari para kaisar kuno. Kong Zi
memang menyusun kitab Shu Jing ini tapi bahannya
diperoleh dari perpustakaan kerajaan yakni saat dia
pergi ke Chengzhou/Luoyi dan bertemu Lao Zi itu.

Sedang Chunqiu Jing ini mencatat kronologis peristiwa
mulai masa pemerintahan rajamuda Lu Yin Gong (722 SM –
712 SM) hingga rajamuda Lu Ai Gong dan berhenti pada
tahun 480 SM saat Qilin dipanah mati (melambangkan
wafatnya Nabi Kong Zi).
Chunqiu Jing ini tidak sekedar mencatat peristiwa
sejarah, tapi Kong Zi sendiri yang memilih ‘kata’ yang
tepat untuk mengartikan peristiwa itu. Dari sini bisa
kita lihat sikap politik Kong Zi terhadap suatu
peristiwa yang terjadi. (Dalam Shu Jing, Kong Zi cuma
mengumpulkan dokumen kuno dan kemudian dijadikan satu
buku tanpa mengkomentari peristiwa itu. Justru
komentar terhadap ayat-ayat Shu Jing muncul dalam
percakapan beliau dengan murid-muridnya dalam kitab Si
Shu).