<!– @page { size: 21cm 29.7cm; margin: 2cm } P { margin-bottom: 0cm; text-align: justify } –>

Zi Lu bertanya, “Murid memberanikan diri bertanya hal setelah orang mati.” Dijawab, “Sebelum mengenal hidup, bagaimana mau mengenal hal setelah mati ?”

(Sabda Suci XI,12:2)

Dengan berdasarkan pada satu ayat diatas, banyak orang termasuk umat agama Khonghucu sendiri yang berpendapat bahwa ajaran Nabi Kong Zi adalah melulu tentang keduniawian dan tidak pernah membahas/mengajarkan tentang hal setelah kematian (after-life). Celakanya, pendapat yang tidak benar ini justru sering dijadikan ‘senjata pamungkas’ oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk ‘menjegal’ keberadaan Khonghucu sebagai agama.

Pertanyaan pertama yang harus dijawab oleh umat Khonghucu adalah : Benarkah Nabi Kong Zi tidak mengetahui atau tidak paham tentang hal setelah kematian sehingga beliau memang tidak bisa mengajarkan hal itu kepada murid-muridnya. Jika pertanyaan ini tidak terjawab, benarlah tuduhan bahwa ajaran Kong Zi itu hanya bersifat keduniawian dan tidak layak dianggap ‘agama’.

Sebelum menjawab pertanyaan ini, harus dikemukakan lebih dulu bahwa ayat diatas memang benar terdapat dalam kitab Sabda Suci (Lun Yu), tapi itu cuma setengah saja karena masih ada satu kalimat diatas sehingga lengkapnya berbunyi demikian :

  1. Zi Lu bertanya bagaimana cara mengabdi kepada para Rokh. Kong Zi bersabda, “Sebelum mengabdi kepada manusia, bagaimana dapat mengabdi kepada para Rokh ?”

  2. Murid memberanikan diri bertanya hal setelah orang mati.” Dijawab, “Sebelum mengenal hidup, bagaimana mau mengenal hal setelah mati ?”

Perhatikan bahwa kalimat pertama dan kedua mempunyai nalar logika yang sama. Pada kalimat pertama, ketika Zi Lu menanyakan sesuatu hal yang ‘jauh’ {yakni mengabdi kepada Rokh}, Kong Zi menyadarkan sang murid agar lebih dulu menguasai hal yang ‘dekat’ {yakni mengabdi kepada manusia}. Nalar yang sama berlaku pada kalimat kedua yakni ketika Zi Lu menanyakan tentang hal setelah mati {yang ‘jauh’ karena belum dijalani}, Kong Zi memberikan jawaban yang sama yakni harus mengenal hidup lebih dulu {yang lebih ‘dekat’).

Percakapan diatas adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam arti dua pertanyaan Zi Lu ini terjadi pada satu kesempatan bertanya pada sang Guru. Untuk dua pertanyaan ini, Kong Zi sebenarnya memberikan satu jawaban yang sama yakni : “Jalan Suci seorang Junzi (Susilawan) itu seumpama hendak pergi ke tempat yang jauh, maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah mulai menempuh jarak yang terdekat, seumpama mendaki tempat yang tinggi, maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah mulai mendaki dari bawah.” (Tengah Sempurna XIV.1) Jadi kalimat pertama tidak bisa dihilangkan begitu saja sebab bisa merancukan arti jawaban kedua.

Adapun orang yang menyimpulkan bahwa Nabi Kong Zi tidak mengetahui atau tidak paham tentang hal setelah kematian sehingga beliau memang tidak bisa mengajarkan hal itu kepada murid-muridnya, maka ini pasti karena orang ini hanya mengutip kalimat kedua tanpa memperhatikan kalimat pertama.

Mengapa kesimpulan ini rancu ? Karena jika kalimat “Sebelum mengenal hidup, bagaimana mau mengenal hal setelah mati ?” diartikan Kong Zi tidak paham akan hal setelah kematian, maka kalimat “Sebelum mengabdi kepada manusia, bagaimana dapat mengabdi kepada para Rokh ?” harus pula diartikan bahwa Kong Zi tidak paham akan hal mengabdi kepada para Rokh. Jelas ini salah besar ! Dalam banyak ayat disebutkan bagaimana Kong Zi menghormati Rokh tapi dari jauh (Sabda Suci VI.22) dan menolak menghormati Rokh yang tidak semestinya disembah karena itu sama dengan menjilat (Sabda Suci II.24). Ini membuktikan bahwa Kong Zi walaupun memahami tentang ‘mengabdi kepada Rokh’ tapi dia tetap tidak/belum mau menjelaskannya pada Zi Lu (dalam jawaban pada kalimat pertama). Jadi jika kemudian dalam pertanyaan kedua, Kong Zi lagi-lagi tidak/belum mau menjelaskan perihal setelah kematian, itu tidak bisa disimpulkan bahwa Beliau tidak paham akan hal itu.

Tuduhan pertama bisa dipatahkan, tapi mungkin belum tuntas karena muncul tuduhan baru : “Pembelaan diatas tidak serta merta membuktikan bahwa Kong Zi memahami hal akan kematian !”

Jawaban terhadap serangan kedua ini sebenarnya banyak terdapat dalam Kitab Suci Li Ji (Catatan Kesusilaan) yang menjelaskan arti filosofis dari upacara pemakaman, bagi yang mau berpikir lebih berat bisa membaca artikel Alm. Prof. Lee T. Oei berjudul ‘Perihal Dosa dan Neraka Menurut Iman dan Fikiran Konfuciani’ juga ‘Perihal Kematian dan Rokh Menurut Iman dan Pikiran Konfuciani’. Disini Prof. Lee T. Oei melakukan bedah buku kuno dan membuktikan bahwa pada masa hidup Nabi Kong Zi telah dikenal adanya konsep kehidupan setelah kematian.

Yang menjadi pertanyaan menarik adalah Jika Nabi Kong Zi sudah pasti mengenal tentang konsep afterlife ini, mengapa beliau tidak pernah menjabarkan atau mengkomentari sedikit saja tentang konsep ini ?

Tidak sedikit pakar agama Khonghucu yang mengajukan beberapa alasan kuat tentang hal ini, antara lain :

1. Kong Zi mengajar dan menjawab murid-muridnya sesuai dengan kemampuan sang murid sehingga jawaban untuk satu pertanyaan yang sama bisa berbeda disesuaikan dengan kemampuan si murid yang bertanya. Kong Zi bersabda, “Seorang yang pengetahuannya sudah melampaui tingkat pertengahan, bolehlah diajak membicarakan hal-hal yang tinggi. Seorang yang pengetahuannya masih di bawah tingkat pertengahan, tidak boleh diajak membicarakan hal-hal yang tinggi.” (Sabda Suci VI.21) Kita tahu bahwa Zi Lu adalah murid yang tangkas sehingga kegesitannya perlu ‘ditahan’ oleh Nabi Kong Zi. Tapi ini belum menjawab pertanyaan : Mengapa Kong Zi tidak pernah menjabarkan afterlife ini kepada murid yang lain ?

2. Zi Gong pernah berkata, “Ajaran Guru tentang kitab-kitab, dapat kuperoleh dengan cara mendengar; Tetapi Ajaran Guru tentang Watak Sejati dan Jalan Suci Tian, tidak dapat kuperoleh dengan hanya mendengar saja.” (Sabda Suci V, 13). Berdasarkan dari sini, para cendekiawan agama Khonghucu telah melakukan ‘bedah buku’ terutama kitab Li Ji dan Yi Jing seperti yang dilakukan Alm. Prof Lee T. Oei untuk menunjukkan bahwa agama Khonghucu mengenal konsep afterlife. Tapi tetap saja hal ini tidak memuaskan semua pihak karena konsep-konsep ini tidak secara tegas dikatakan oleh Nabi Kong Zi !

3. Seperti telah disebutkan diatas, ajaran Kong Zi itu mempunyai suatu nalar logika yang jelas dan tidak melompat-lompat. Kitab Ajaran Besar (Da Xue) bahkan dengan tegas menyebutkan : “Karena itu dari Raja sampai rakyat jelata, semua mempunyai satu kewajiban yang sama, yaitu mengutamakan pembinaan diri sendiri sebagai pokok (dasar) dari pelaksanaan Jalan Suci. Adapun pokok yang kacau itu tidak pernah menghasilkan penyelesaian yang teratur baik … Jikalau dikatakan pokok yang kacau akan dapat membuat dunia menjadi damai, maka hal itu belum pernah terjadi. (Ajaran Besar Utama.6-7). Alasan ketiga inilah yang paling sering digunakan oleh umat KHC sehingga muncul kalimat ‘Agama Khonghucu membangun Jalan Kemanusiaannya dengan berdasarkan pada Jalan Keilahian’. Berbeda dengan agama lain yang lebih menekankan Jalan KeTuhanannya tapi mengabaikan Jalan Kemanusiaannya.

Ketiga alasan diatas, walaupun cukup kuat tapi belum memuaskan para penyerang agama Khonghucu. Yang paling termasyhur menyerang ini adalah Hong Xiuquan, pemimpin pemberontak Taiping beragama Kristen dengan pengakuannya : “Aku bermimpi Kong Zi datang kepadaku sambil menangis karena menyesal tidak mengajarkan ajaran afterlife seperti yang diajarkan agama Kristen.” Hong Xiuquan bahkan tak segan-segan mengklaim diri sebagai Adik Yesus Kristus. Ini menunjukkan begitu fanatiknya Hong Xiuquan terhadap agama Kristen sehingga berani menyerang agama Khonghucu !

Jadi benarkah Nabi Kong Zi telah beliau lalai atau lupa mengajarkan afterlife seperti tuduhan Hong Xiuquan ? Perlukah Agama Khonghucu yang sekarang ini ‘menambahkan’ konsep after-life ini agar layak disejajarkan dengan agama lain ? Ataukah cukup puas membela diri dengan 2 alasan diatas karena tidak bisa menjawab serangan dari Hong Xiuquan ?

Uraian dibawah ini akan membeberkan bukti sejarah bahwa dengan tidak menguraikan konsep Afterlife ini, Nabi Kong Zi justru telah menjadikan agama Khonghucu sebagai doktrin yang unggul.

Setelah Agama Khonghucu disahkan menjadi agama negara pada masa dinasti Han (202 SM – 220 M), praktis perkembangannya mengalami ‘stagnasi’ karena dianggap sebagai doktrin superior diatas doktrin-doktrin agama yang lain. Agama Buddha memasuki Tiongkok dengan membawa serta konsep afterlife tentang ‘Surga dan Neraka’ yang berlapis-lapis lengkap dengan alat siksaan sebagai penebus dosa. Tidak ada seorang umat Buddha di dunia ini yang tidak mengenal tentang konsep Surga dan Neraka ini.

Setelah memasuki Tiongkok, agama Buddha harus menerima pengaruh agama Khonghucu dan agama Tao yang merupakan agama asli Tiongkok. Pengaruh agama Khonghucu yang ‘mengutamakan rakyat’ telah menyebabkan aliran Buddhisme Mahayana berkembang pesat dan mendapat banyak pengikut di kalangan rakyat.

Dewasa ini agama Buddha dengan konsep after-lifenya (termasuk paham Reinkarnasi) boleh saja mengklaim telah mempengaruhi seluruh rakyat Tiongkok secara mendalam. Tapi benarkah konsep after-life Buddha ini telah mencapai kemenangan mutlak (baca : mengisi kekosongan konsep yang tidak diuraikan oleh Nabi Kong Zi) ?

Ketika agama Buddha mencapai jaman keemasan di masa pemerintahan Raja Liang Wu Di, justru muncul gerakan baru dalam tubuh agama Buddha yakni munculnya aliran Buddhisme baru : Chan (di Jepang dan di Indonesia lebih dikenal sebagai Zen). Hampir mustahil jika dikatakan bahwa Guru Zen ini tidak mengenal konsep afterlife agama Buddha dengan surga dan nerakanya.

Tapi ketika ada orang bertanya kepada seorang Guru Zen (yang sudah pasti diakui keTokohannya) tentang hal setelah kematian, sang Guru Zen menyahut : “Mana saya tahu ? Saya kan belum pernah mati !”

Jawaban seperti ini sering dipuji sebagai jawaban yang ‘berfilosofi dalam dan mencerahkan’ tapi jika dibandingkan dengan jawaban Nabi Kong Zi kepada Zi Lu manakah yang lebih dalam dan mencerahkan ? Apakah ada yang berani mengatakan bahwa Guru Zen ini ‘lalai’ karena tidak menjabarkan perihal konsep afterlife ?

Guru Zen yang lain justru menyadarkan murid-muridnya dengan cara ‘membolak-balik’ konsep afterlifenya sendiri. Ketika ditanya kemana dia setelah mati, sang Guru Zen malah menjawab bahwa dia akan masuk neraka ! Ketika murid-muridnya merasa heran dan menanyakan sebabnya, sang Guru Zen menyahut, “Jika saya tidak masuk neraka, lalu siapa yang akan menolong kalian (keluar dari neraka) !”

Adalah menarik untuk menelaah mengapa aliran Buddhisme Zen ini justru ‘menolak’ atau ‘mengabaikan’ konsep afterlife mereka yang sudah baku, tapi mengambil sikap ‘acuh’ atau ‘lalai’ seperti yang dilakukan Nabi Kong Zi ribuan tahun sebelumnya.

Sejarah mencatat Raja Liang Wu Di adalah ‘Pelindung Agama Buddha’ di Tiongkok yang terbesar. Dia banyak mendirikan vihara-vihara, menyumbangkan banyak harta bagi pengembangan agama Buddha dan semua itu dilakukannya secara tulus untuk mendapatkan pahala di Surga. Saat itulah Bodhidharma datang ke Tiongkok dan kemudian ‘mendirikan’ aliran Buddhisme Zen.

Tiongkok saat itu telah dipenuhi konsep afterlife versi agama Buddha sehingga semua orang (bahkan raja) berlomba untuk berbuat kebaikan agar mendapat pahala dan menghindari berbuat dosa untuk menghindari neraka. Justru di tengah hiruk pikuk kegairahan untuk mendapatkan tiket ke ‘surga’ itulah, konsep afterlife dengan Surga dan Neraka ini mulai menunjukkan kelemahannya.

Kejadian ini mungkin bisa kita lihat saat ini di negeri kita sendiri, Indonesia. Setelah mengenal ajaran tentang ‘Surga dan Neraka’, hampir semua agama menjadikan ‘surga dan neraka’ ini sebagai tujuan utama ajaran mereka. Setiap orang yang mengaku beragama ‘saling bersaing’ berbuat kebaikan dengan harapan bisa ‘masuk surga’ (seperti disebutkan diatas, antara lain rajin ke tempat ibadah, menyumbang banyak-banyak dengan harapan ‘mencicil’ rumah di surga). Diakui atau tidak, perbuatan baik yang disertai dengan harapan balas jasa ini juga dianut oleh raja dan pemimpin agama saat itu. Tapi Bodhidharma bukannya memuji kebaikan yang dilakukan oleh Raja Liang Wu Di bahkan mengkritiknya secara tegas.

Di Eropa sendiri sebagai pusat agama Nasrani, Paus sebagai pemimpin agama Nasrani sampai hati menjual ‘surat pengampunan dosa’ demi mendapatkan sejumlah dana. Hal ini sendiri menimbulkan gerakan protes yang luar biasa sehingga timbullah agama Kristen Protestan !

Dalam agama Islam sendiri, konsep afterlife sering digunakan sebagian pemimpin umat untuk membenarkan ajakan ‘berjihad’ dengan iming-iming ‘surga’ dan dengan sendirinya melupakan ajaran Nabi Muhammad SAW yang menegaskan Islam adalah agama pembawa kedamaian.

Dalam keadaan seperti ini, apakah ajaran afterlife tentang ‘surga dan neraka’ masih berguna bagi umat manusia di seluruh dunia ? Perhatikan dengan seksama bahwa pada masa seperti ini ‘Surga dan Neraka’ bukan lagi berada dibawah kekuasaan Tian Yang Maha Esa, melainkan berada dibawah keputusan pemimpin agama yang sewenang-wenang (dalam menentukan umatnya masuk surga atau neraka) ! Pada titik ini, barulah dapat dipahami mengapa konsep ‘after-life’ tidak pernah menjadi bagian yang begitu penting dan dominan dalam ajaran Nabi Kong Zi.

Jika agama Buddha memerlukan waktu ratusan tahun untuk menyadari kelemahan konsep afterlife ini dan membutuhkan kehadiran tokoh kuat seperti Bodhidharma untuk meluruskan hal ini, Nabi Kong Zi bahkan telah melakukannya ribuan tahun sebelumnya, jadi jelas bahwa beliau tidak lalai/lupa. Seperti kata Zi Gong, “Ajaran Kong Zi tidak akan tercela. Kebijaksanaan orang-orang lain boleh diumpamakan sebagai bukit yang dapat dijelajahi dan dilewati. Sedangkan Ajaran Kong Zi adalah laksana matahari dan bulan yang tidak dapat diraih dan dijamah. Meskipun orang mencela, dapatkah ia merusakkan matahari dan bulan ? Hal ini hanya menunjukkan ia tidak mengenal kemampuan diri sendiri.” (Sabda Suci XIX.24), maka serangan yang dilakukan oleh Hong Xiuquan menunjukkan seberapa tinggi pemahamannya terhadap agama Khonghucu itu sendiri.

Jadi terjawab tuntas bahwa Tidak Perlu menambahkan konsep afterlife atau ‘Surga dan Neraka’ dalam buram Agama Khonghucu karena itu ibarat ‘menambahkan kaki pada gambar ular’.

Akan muncul pertanyaan pamungkas, “Tidak menjelaskan afterlife secara tegas {dengan konsep ‘surga dan neraka’} bukan berarti agama Khonghucu lebih unggul dari agama lain. Dengan apa agama Khonghucu mengajarkan manusia untuk berbuat baik jika tidak dengan konsep afterlife ?” Saya bahkan pernah mendengar lagu Chrisye yang berbunyi demikian : “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah engkau akan memujaNya ?”

Inilah penjelasan pamungkas sekaligus menunjukkan keunggulan agama Khonghucu dibandingkan yang lain. Jika agama lain mungkin akan membenarkan syair dalam lagu Chrisye diatas, tapi agama Khonghucu menjawab :

  1. Kong Zi bersabda, “Dibimbing dengan Undang-Undang dan dilengkapi dengan hukuman / sanksi, semua itu akan menjadikan rakyat hanya berusaha menghindari itu dan kehilangan perasaan harga diri.”
  2. Dibimbing dengan Kebajikan dan dilengkapi dengan Kesusilaan, semua ini akan menjadikan rakyat tumbuh perasaan harga dirinya dan senantiasa berusaha hidup benar.” (Sabda Suci II.3)

Surga dan Neraka tak ubahnya seperti Undang-Undang yang dilengkapi dengan hukuman dan sangsi. Raja Liang Wu Di berpikir dengan membangun tempat ibadah dan menyumbang amal dia bisa memperoleh tiket surga maupun mengurangi dosa. Maka dikatakan ‘rakyat hanya berusaha menghindari (hukuman dan sanksi) dan kehilangan perasaan harga diri (melakukan apa saja untuk bisa ‘membeli’ kebaikan)’.

Agama Khonghucu lain daripada yang lain. Tanpa diancam dengan dosa, kehancuran, hukuman ataupun akhir dunia, Nabi Kong Zi membimbing dengan Kebajikan dilengkapi dengan Kesusilaan, mengajarkan umat manusia untuk menyadari Watak Sejati sehingga senantiasa berusaha benar {sesuai Jalan Suci}. Inilah inti ajaran agama Khonghucu. Adakah ajaran lain yang lebih mulia dan lebih unggul dari ajaran Nabi Kong Zi ? Layaklah bila Meng Zi berujar, “Sejak adanya manusia sampai saat ini, belum ada yang dapat dibandingkan dengan Kong Zi !” 自有生民以來﹐未有孔子也。(Meng Zi IIA.2:23)

Jika ditanya bisakah manusia diajar berbuat baik tanpa diancam surga dan neraka ? Tentu saja bisa ! Tapi penjelasannya tentu dalam artikel lain, sebab itu akan melenceng dari topik utama artikel ini.

Kini terserah kepada pembaca untuk menjawab, “Ketiadaan konsep ‘surga dan neraka’ dalam konsep afterlife milik agama Khonghucu {yang dilakukan dengan sengaja} ini merupakan Kelemahan atau justru Keunggulan Agama Khonghucu ?”

Sugiaman Gonassis

Wan nian yan yu nai de

<!– @page { size: 21cm 29.7cm; margin: 2cm } P { margin-bottom: 0.21cm } A:link { color: #0000ff } –>

Walaupun sejak tahun 1904, Lie Kimhok sudah tidak lagi menjadi pengurus THHK, tapi ia sering datang ke gedung THHK untuk membantu atau sekedar omong-omong sumbang saran. Tapi Lie Kimhok masih sering menulis artikel di surat kabar ‘Sin Po’ dan ‘Perniagaan’.

Sampai beberapa hari sebelum Lie Kimhok wafat, beliau masih menulis artikel tentang kebangsaan untuk menarik perhatian orang Tionghoa agar menekankan pentingnya Ajaran Nabi Kong Zi perihal Ren, Yi, Li, Ti, Xin, Zhong, Xiao, Lian, Zhi sehingga dengan begitu bisa mengangkat derajat bangsanya.

Pada tanggal 2 Mei 1912 Lie Kimhok masih berkunjung ke gedung THHK di Patekoan dan kemudian ke kantor surat kabar ‘Sin Po’ di Asemka dan ‘Perniagaan’ di Pintu Besar. Pagi itu beliau masih membicarakan tentang epidemi kolera yang melanda kota Batavia (sekarang Jakarta) dan sekitarnya. Saat itu di surat-surat kabar dimuat iklan yang memujikan semacam obat kolera yang disebut ‘Laudanum’ (nama yang di dalam abad ke-16 diberikan pada candu sebagai obat di Eropa), tetapi tidak dapat dibeli di apotik, jika tidak disertai dengan resep dokter.

Menurut Lie Kimhok perlu diusahakan dan pihak pers diharapkan bantuannya agar orang-orang yang tidak mampu membeli masih bisa mendapatkan obat ‘Laudanum’ itu.

Ternyata itulah hari terakhir Lie Kimhok keluar dari rumahnya, karena esoknya ia telah sakit dan dilarang turun dari pembaringan oleh Dr. W.F. Sikman yang merawatnya. Pada tanggal 4 Mei, Dr. Sikman mengadakan konsul dengan Dr. Sypkens Brouwer. Diagnose ditetapkan bahwa Lie Kimhok terserang typhus.

Pada tanggal 5 Mei malam seisi rumah gelisah, karena Lie Kimhok merasakan dadanya sesak, ia susah bernapas. Dr. Sikman diminta datang lagi lalu memberikan suatu injeksi. Setelah itu Lie Kimhok dapat tidur pulas, sehingga tak seorangpun yang menduga bahwa dia tidak pernah bangun kembali.

Kira-kira pukul 12 tengah malam, barulah anggota keluarganya menemukan bahwa beliau telah berpulang ke haribaan Tian YME. Wajahnya tenang, air mukanya tidak berubah, matanya tertutup seperti orang yang sedang tidur, suatu tanda ketenangan jiwa.

Pada tanggal 6 Mei pagi-pagi, sebelum terbit matahari di muka gedung T.H.H.K. Jakarta berkibar bendera setengah tiang. Harian ‘Sin Po’ dan ‘Perniagaan’ memuat sebuah berita duka sebagai berikut :

Semalam pukul 12 masyarakat Tionghoa telah kehilangan seorang pemimpin yang jujur, Jakarta kahilangan seorang penduduk terhormat dan dunia penulis dan persurat-kabaran kehilangan seorang kawan yang paling diindahkan: Lie Kimhok telah meninggal dunia.

Ia itu adalah mede-oprichter T.H.H.K.-Batavia, yang menjadi organisasi pertama semacam itu di seluruh Indone­sia (1900). Lid-kehormatan (Kie Yu Seng Kong) perkumpulan itu (1906). Dadanya dihias ‘Kung Pai’ (medali tanda berjasa) graad ke-7 dari pemerintah Tiongkok (1909), penyokong berdirinya Tiong Hoa Oen Tong Hwee, Lie Lun Hwee, Djin Tiu Hi dan beberapa sosial lainnya.

Penulis buku dan wartawan Tionghoa-Melayu tertua.

Ia meninggal setelah menderita sakit 3 hari lamanya.

Selanjutnya jenasah beliau dimakamkan di pekuburan Tionghoa di Kota Bambu (Petamburan).

Wafatnya Lie Kimhok tidak menyebabkan THHK menjadi bubar, tapi terasa benar adanya kehilangan seorang tokoh panutan dan teladan (terutama karena belum ada pengganti yang sepadan dengan beliau terutama dalam hal penguasaan agama KHC). THHK mulai kehilangan fokus pada pembinaan agama KHC (apalagi perkembangan agama KHC di Tiongkok juga mengalami hambatan luar biasa besar) sehingga akhirnya seksi keagamaan dalam tubuh THHK berkembang sendiri dan memisahkan diri dengan mendirikan lembaga (khusus menangani masalah) agama KHC yang diberi nama Khong Kauw Hwee. Khong Kauw Hwee inilah yang kelak berganti nama menjadi MATAKIN yang masih ada sampai sekarang dan tetap konsisten memperjuangkan agama KHC di Indonesia. (Lebih lengkapnya silahkan membaca Sejarah Ringkas MATAKIN di website www.Matakin-Indonesia.org)

Definisi Agama KHC oleh Lie Kimhok

Setahun setelah THHK didirikan, masih banyak orang yang tidak mengerti benar apa dan bagaimana THHK itu, bahkan ada yang masih mempertanyakan definisi Agama Khonghucu itu sendiri. Tanggal 3 Agustus 1902, Lauw Tjiang Seng di Tangerang mengirim surat yang berisikan 5 pertanyaan yakni :

1. Apakah orang Tiongkok punya agama yang asli ?

2. Bagaimana mesti melakukan/menjalankan agama itu ?

3. Apakah Ajaran Nabi Kong Zi merupakan agama ?

4. Dari dulu sampai sekarang, kita-kita ini menggunakan agama apa ?

5. Memuja dewa dan leluhur, apakah itu maksud agama Tiongkok ?

Atas pertanyaan ini, THHK telah membentuk satu komisi yang beranggota 4 orang yakni Khow Siauw Eng, Oei Khoen Ie, Tan Chong Long dan Lie Kimhok. Jawaban yang dimuat secara panjang lebar di Majalah Li Po tanggal 14 Februari 1903, secara singkat berbunyi demikian :

1. Masing-masing bangsa di dunia punya ‘pri-sopan’ sendiri. Pri-sopan yang dipakai antara manusia dan manusia disebut ‘adab’ sedang antara manusia dan ‘orang-haloes/roh’ dinamakan ‘agama’. Adab dan agama yang menjadi kesepakatan bersama suatu bangsa dan berlaku secara turun temurun itulah yang dinamakan adat-istiadat. Karena itulah ‘agama’ hanya merupakan sebagian dari adat istiadat itu sendiri. Adat istiadat bangsa Tiongkok yang asli semuanya bersumber pada kitab Si Shu dan Xiao Jing, dimana kedua kitab ini dikatakan sebagai ajaran Nabi Kong Zi. Jadi jawaban dari pertanyaan pertama : Agama asli bangsa Tiongkok terdapat dalam ajaran Nabi Kong Zi !

2. (karena uraiannya sangat panjang, tidak bisa disingkat disini, mohon maaf sebesar-besarnya !)

3. Dari jawaban poin 1, bisa disimpulkan bahwa Ajaran Nabi Kong Zi itu bersifat agama !

4. Seperti halnya kata-kata dalam sebuah bahasa yang bisa bertambah karena masuknya istilah bahasa asing, adat istiadatpun juga bisa bertambah, ini karena sebuah bangsa berinteraksi dengan bangsa lain sehingga bertambah pengetahuan atau mendapat pemikiran baru. Demikian juga adat istiadat Tiongkok mengalami penambahan setelah berinteraksi dengan agama Buddha dan agama Dao. Selanjutnya, karena adat istiadat berhubungan erat dengan agama, maka bangsa Tiongkok lama-lama jadi menerima dan menjalankan tiga agama yakni agama KHC, Buddha dan Dao. Bahkan para Huaqiao yang lahir di Indonesia, ada juga yang mendapat pengaruh dari agama Islam. Karena itu agama yang dianut para Huaqiao di Indonesia ini bersifat campuran.

5. Kong Zi bersabda, “Seorang bijaksana menghormati roh-roh tetapi dari jauh.” (Sabda Suci VI.22:1) Tapi beliau juga bersabda, “Bersembahyang kepada roh yang tidak seharusnya disembah, itulah yang disebut ‘menjilat’.” (Sabda Suci II.24:1) Dalam hal ini leluhur adalah orangtua yang sudah seharusnya dihormati sehingga kita boleh bersembahyang kepadanya. Inilah jawaban dari pertanyaan no 5.

Agama Khonghucu vs Agama Kristen

Kebangkitan Agama Khonghucu melalui berkembangnya THHK dengan gegap gempita ini ternyata menimbulkan rasa iri bagi kaum misionaris Kristen seperti L. Tiemersma, seorang pendeta yang telah menerbitkan dan mengemudikan majalah-majalah Kristen, seperti ‘Bentara Hindia’ (Batavia, 1900-1925) dan bulanan ‘Penabur’ (Kediri, 1925), juga menulis buku-buku seperti ‘Golgotha, beberapa riwayat pada masa raya kematian Tuhan Yesus’ (Batavia, 1894), ‘Kitab pembacaan bagi anak-anak Sekolah yang dipindahkan kapada bahasa Melayu’ (Batavia, 1899), ‘Sobat anak-anak’ (Batavia, 1901), ‘Kasukaran masa raya lahir Tuhan Yesus’, ‘Hal kajadian Langit dan Bumi’, ‘Hikayat segala Nabi’, dan lain-lain.

Sebenarnya perang agama ini sudah dikobarkan Tiemersma sejak awal tahun 1902 terhadap orang-orang yang memperkenalkan ajaran Nabi Kong Zi di majalah Li Po seperti Tan Liong Houw, Tan Han Soey dan Tan Ging Tiong. Begitu juga dengan jawaban atas pertanyaan Lauw Tjiang Seng diatas ini-pun menjadi sasaran tembak dari Tiemersma.

Awalnya Tiemersma memuat penghinaannya ini di majalahnya sendiri yakni ‘Bentara Hindia’ yang menurut kata-kata dan ejaan pendeta itu ‘dikarangkan saminggu sakali’. Lalu atas permintaan pendeta L. Tiemersma sendiri maka penghinaan (terhadap ajaran agama lain yang bertentangan dengan toleransi) ini dikutip juga dalam mingguan Li Po sehingga THHK lalu membentuk komisi khusus yang diketuai oleh Lie Kimhok untuk memberikan jawaban atas serangan tidak bersahabat dan bersifat jahat ini.

Dibawah ini kita bisa melihat bagaimana jawaban Lie Kimhok atas serangan Tiemersma : (ejaan melayu-Tionghoa, sudah diganti ke EYD tanpa mengubah arti – pen)

Tiemersma menulis :

Perumpamaan yang digunakan oleh Komisi THHK adalah salah. Komisi itu menyatakan : ‘Seperti halnya kata-kata dalam sebuah bahasa yang bisa bertambah karena masuknya istilah bahasa asing, agamapun juga bisa bertambah.” (perhatikan bahwa Tiemersma dengan licik telah memotong kalimat sambungannya dan juga mengganti kata adat-istiadat dengan agama). Kalimat ‘agamapun juga bisa bertambah’ bisa diartikan demikian : Agama juga bisa bertambah karena masuknya istilah bahasa asing.

Jawaban Lie Kimhok :

Pembaca tolong lihat dengan baik, apakah kita mengatakan demikian (Agama juga bisa bertambah karena masuknya istilah bahasa asing) ? Mari kita lihat perumpamaan ini : Kita semua tahu bahwa Kijang suka mengenyangkan perutnya dengan rumput dan Harimau suka mengenyangkan perutnya dengan daging. Dalam hal ini bisa kita simpulkan bahwa ada persamaan antara Kijang dan Harimau yakni sama-sama suka mengenyangkan perutnya. Tapi kita tahu bahwa Kijang dan Harimau tidak sama dalam hal lain, terutama jenis makanan yang dimakannya. Begitu juga kalimat ‘Seperti halnya kata-kata dalam sebuah bahasa yang bisa bertambah karena masuknya istilah bahasa asing, agamapun juga bisa bertambah, ….” Dalam hal ini persamaannya adalah perihal proses pertambahan bukan pada apa yang ditambahkan.

Lebih jauh lagi, kalimat itu masih ada sambungannya yakni ‘ini karena sebuah bangsa berinteraksi dengan bangsa lain sehingga bertambah pengetahuan atau mendapat pemikiran baru’. Kalimat penjelas ini justru seenaknya saja dipotong oleh tuan Tiemersma. Disini kita dapat melihat bahwa Tuan L. Tiemersma ini mempunyai ilmu yang aneh ! Kalau dia hendak menyalahkan omongan orang, dia merubah dulu omongan itu dengan sesuka hatinya !

Tiemersma menulis :

Betul seperti yang dinyatakan oleh komisi itu bahwa agama Tiongkok itu adalah campuran. Tapi sayang sekali Komisi tidak periksa sebabnya mengapa jadi begitu.

Lie Kimhok menjawab :

1. Kita tidak pernah mengatakan bahwa agama Tiongkok itu agama campuran. Pada dasarnya agama Tiongkok yang asli adalah agama Khonghucu, tapi jika orang-orang Tionghoa (yang tidak terlalu memahami agama KHC) lalu menerima pengaruh agama lain (seperti Buddha, Dao dan Islam) ini tidak berarti bahwa agama Khonghucu telah berubah menjadi agama campuran. Seandainya agama Kristen (yang diakui murni, tidak campuran) nanti dianut pula oleh sebagian orang Tionghoa, agama itu juga tidak akan bisa dikatakan sebagai agama Tiongkok !

2. Tuan Tiemersma tentu membaca bahwa tujuan komisi THHK dibentuk adalah untuk memberikan jawaban atas 5 pertanyaan yang diajukan oleh tuan Lauw Tjiang Seng, jadi kita memang tidak diperintahkan cari tahu mengapa orang Tionghoa sampai menganut agama campuran.

Tiemersma menulis :

Agama Buddha bukan datang ke negeri Tiongkok atas kemauan orang India, melainkan karena kaisar Han Ming Di telah untuk pendeta Buddha untuk mengajarkan agamanya. Rupanya kaisar itu dan bangsanya merasa dalam hatinya bahwa Agama Khonghucu itu tidak cukup sebagai bekal bagi manusia.

Lie Kimhok menjawab :

Sayang Tuan Tiemersma tidak menyebutkan berapa orang bangsanya kaisar yang ikut merasakan demikian. Kesimpulan bahwa pikiran kaisar Han Ming Di sama dengan pikiran seluruh bangsa Tiongkok adalah ngawur. Saat hendak mengundang pendeta agama Buddha, kaisar tidak pernah menghubungkan hal ini dengan agama KHC, juga tidak lebih dulu mengadakan referendum untuk menanyai pendapat rakyatnya, jadi kesimpulannya ini adalah pikiran kaisar itu sendiri.

Sebenarnya ketika kaisar Han Ming Di menceritakan mimpinya tentang Raksasa bertubuh emas yang dikatakan menterinya sebagai Buddha, ini menunjukkan bahwa agama Buddha itu sebenarnya sudah sampai di Tiongkok pada masa itu sehingga si menteri bisa mengetahuinya. Ini juga menunjukkan bahwa agama dari India itu sebenarnya tidak mendapat perhatian dari rakyat Tiongkok.

Justru setelah kaisar berinisiatif mengundang pendeta agama Buddha ke istana, barulah orang-orang mulai memperhatikan ajaran agama Buddha. Hal ini tidak perlu diherankan karena apapun yang diperbuat seorang kaisar pasti akan ditiru oleh rakyatnya. Ada banyak bukti tentang hal ini : Jaman sekarang kalau Gubernur Jendral suka datang ke gereja, maka banyaklah orang-orang Eropa yang berbondong-bondong pergi ke gereja, terutama pada pejabat. Dulu saat kaisar Belanda Wilhem II merubah potongan kumisnya, hal ini segera ditiru oleh rakyat Belanda ! Jadi kalau agama Buddha kemudian banyak dianut orang di Tiongkok, ini bukan karena Agama KHC tidak cukup bagi umat manusia melainkan karena pengaruh dari kaisar Han Ming Di sendiri.

Tuan Yoe Tjai Siang adalah seorang Kristen yang justru dituduh sendiri oleh tuan Tiemersma bahwa dia telah berusaha mencampurkan agama Kristen dengan agama KHC. Dalam kasus ini, apakah perbuatan Yoe Tjai Siang ini dapat diartikan bahwa agama Kristen itu tidak cukup menjadi bekal bagi manusia karena itu harus dicampur dengan agama KHC ? Kita hanya bisa berkata, “Sayang Yoe Tjai Siang itu tidak seberuntung Martin Luther yang berhasil merubah agama Katolik menjadi agama Kristen Protestan. Apakah ini bisa disimpulkan bahwa Agama Kristen tidak cukup bagi umat manusia sehingga harus muncul agama kristen versi berikutnya ?” Sejauh ini kita belum berpikir dan tidak ada niat untuk memikirkannya, mengapa agama Kristen justru terus terpecah-pecah, bahkan Kristen Protestan yang didirikan Luther pecah lagi menjadi Kristen Hervormde, Kristen Gereformeerde dan lain-lain hanya karena perasaan tidak puas dari Zwingli, Calvin dan lain-lain. Jadi tidak heran bukan jika jaman ini ada orang (Yoe Tjai Siang) yang merasa bahwa Agama Kristen tidak cukup bagi umat manusia sehingga harus dirubah atau dicampur dengan agama Khonghucu !

Besar harapan kami agar keterangan ini dapat dimuat juga dalam surat kabar ‘Bentara Hindia’ dan ‘Loen Boen’.

Tidak diketahui apakah jawaban Lie Kim Hok yang brilian ini dimuat dalam majalah kristen asuhan L. Tiemersma, tapi majalah Li Po tanggal 11 Juli 1903 memuat pengakuan dari Tiemersma yang menyatakan demikian : “Baba Lie Kimhok itu mempunyai pikiran yang tajam. Dan hati orang yang berpikiran tajam itu tiada lekas terpuaskan …”

Dengan alasan ini, hingga berbulan-bulan kemudian, pendeta Tiemersma terus mengobarkan ‘perang agama’, tapi lama tak ada jawaban dari Lie Kimhok ataupun THHK. Ternyata Komisi THHK ini tidak pernah berniat menyerang agama lain dan komisi pimpinan ini khusus dibentuk untuk memberikan jawaban karena jawaban komisi sebelumnya telah dikritik tanpa dasar oleh pendeta Kristen ini. Setelah memberikan jawaban seperti tersebut diatas, komisi ini dibubarkan karena tugasnya telah selesai.

THHK maupun Lie Kimhok tidak mau terseret dalam ‘perang agama’ sehingga penghinaan-penghinaan Tiemersma yang nyata-nyata tidak berkaitan dengan THHK tidak ditanggapi.

Karena tidak ada jawaban, lama-lama banyak pembaca ‘Li Po’ yang merasa jemu membaca ‘penghinaan’ Tiemersma itu lalu mendesak kepada redaksi mingguan itu, agar tulisan-tulisan semacam itu tidak dimuat lagi.

Redaksi dan administrasi ‘Li Po’ tidak segera mengambil putusan, melainkan memajukan pertanyaan kepada komisi T.H.H.K. apakah keterangan-keterangan pendeta Tiemersma sudah cukup ?!

Komisi THHK membalas sebagai berikut: (termuat dalam Li Po, 10 Oktober 1903)

“Dengan sepengetahuan para pengurus THHK dan presiden THHK, atas nama kita berempat yakni Khoe Siauw Eng, Oei Khoen Ie, Tan Chong Long dan Lie Kimhok (karena karena komisi THHK sudah dibubarkan) mohon supaya diteruskan saja memberi tempat di dalam ‘Li Po’ guna memuat tulisan-tulisan kiriman tuan L. Tiemersma. Tapi mengenai hal menerangkan bunyinya ayat-ayat dari Kitab Suci Kristen itu sebenarnya bukan tempatnya di dalam mingguan ‘Li Po’ ini.

Selain itu kita malah mengucapkan banyak terima kasih pada tuan L. Tiemersma karena dengan serangannya terhadap kita, kini THHK bisa terlepas dari satu tuduhan salah, yang dituduhkan padanya.

Di dalam rumah THHK memang tidak terdapat altar pemujaan Toapekkong sehingga karena hal ini banyak orang Huaqiao yang menuduh bahwa “THHK itu satu perkumpulan Kristen yang berkedok Khonghucu.”

Kini karena jawaban THHK yang terdahulu jelas-jelas bertentangan dengan tuan L. Tiemersma, maka tuduhan itupun mulai hilang sehingga dan THHK mendapat tambahan banyak anggota baru.

Kita juga berharap, dengan adanya karangan-karangan dari tuan L. Tiemersma gereja Kristen pun nanti akan mendapat tambahan banyak anggota.”

Penyelesaian yang brilian bukan ? Jika semua pemimpin agama di negeri ini sehebat Lie Kimhok, mana mungkin ada pertikaian antar agama atau bahkan ‘perang saudara sesama agama’ seperti yang terjadi saat ini ? Saling klaim paling benar dan menuduh orang lain ‘sesat atau kafir’, itukah demokrasi yang diimpi-impikan bangsa ini ?

Sebagai penutup bagian ini, kurang afdol jika para pembaca sekalian tidak mengetahui seperti apa penghinaan L Tiemersma terhadap agama KHC. Ini bukan untuk membuka kembali perang agama melainkan tantangan umat KHC jaman sekarang untuk menjawabnya jika nanti ada umat agama lain yang mengungkit-ungkitnya lagi. (Ingat perdebatan atau diskusi tidak boleh mengungkit masalah pribadi orang yang diajak berdebat melainkan mendebatkan apa yang menjadi topik pembicaraan !)

1. “Sekarang ini bangsa Tionghoa terlebih tersesat dari pada zaman Kong Zi…”

2. “Bahwa orang yang mau jadi selamat dunia akherat melalui agama Khonghucu adalah seperti orang yang mau pasang suluh yang basah atau seperti orang yang menunggu embun di tengah hari…”

3. “Agama Kristen dan agama Tiongkok dibandingkan satu sama lain, makin nyata jauh bedanya…”

4. “Bahwa jauh bedanya agama Kristen dengan agama kafir, dua-duanya tidak dapat disamakan. Bagaimana sembahyang kepada orang yang sudah mati dapat disamakan dengan sembahyang kepada Allah yang hidup…”

5. “Perbedaan antara agama Kristen dengan agama Tiongkok tiada dapat dikurangkan. Dua agama itu tiada dapat didekatkan satu sama lain. Oleh jalan begitu itu tidak boleh jadi perdamaian…”

6. “Pasang petasan juga menjadi tanda, bahua agama Tiongkok menakuti orang Tionghoa…”

7. “Orang Tionghoa membikin rumahnya seperti bui, yaitu sebabnya agama menakuti dia. Mereka tidak berani membuat banyak pintu dan jendela di muka jalan besar, sebab takut rohnya orang mati masuk rumah lalu akan mengganggu isi rumahnya…”

(dimuat di ‘Bentara Hindia’, ‘Loe Boen’ dan ‘Li Po’ antara bulan Mei 1902-Sept 1902)

Lie Kimhok

Lie Kimhok dilahirkan di Kampung Tengah di Bogor (dulu masih disebut Buitenzorg) tanggal 1 November 1853 dari pasangan Lie Hian Tjouw (? – 1880) dan Oey Tjiok Nio (? – 1879). Sebenarnya Lie Hian Tjouw berasal dari Bogor tapi sejak tahun 1864, ia pindah dan bekerja di Cianjur sebagai pegawai sebuah penggilingan beras di Kampung Sayang merangkap sebagai tukang cat. Sedang istrinya, Oey Tjiok Nio membuka sebuah toko kecil di rumahnya yang menjual kain dan benang.

Karena kedua orangtuanya tidak mempunyai sanak saudara dan juga tidak mengenal dukun beranak di daerah Cianjur, maka saat akan tiba waktu melahirkan, Oey Tjiok Nio dibawa ke Bogor oleh Lie Hian Tjouw, ditinggalkan di rumah asalnya yang ditempati oleh seorang sanak keluarganya. Setelah bersalin, Oey Tjiok Nio dan Lie Kimhok yang masih bayi dijemput balik ke Cianjur.

Sejak kecil sekali, Lie Kimhok sudah menunjukkan bakat senang belajar dan membaca. Jika ia berbuat sesuatu kekeliruan, ia memukul-mukul dahinya dengan telapak sebuah tangannya, seperti tanda amat menyesal. Sejak usia 7 tahun, dia sudah mulai bisa menulis sedikit kalimat dalam bahasa Sunda dan Melayu.

Pendidikan Semasa Muda

Hingga berusia 10 tahun, Lie Kimhok belum sempat bersekolah. Ia menerima didikan ayahnya yang bertradisi Tionghoa kuno dan ibunya yang beradat kebiasaan dan berkepercayaan Indonesia setempat. Baru pada tahun 1863, untuk pertama kali Lie Kimhok menuntut pelajaran umum di sekolah Zending pimpinan C. Albers dan di sekolah itu pula ia menerima didikan secara Kristen (1863) yang ditandai dengan berdoa waktu mulai belajar (jam 7 pagi) dan waktu mau pulang (jam 11 siang). Tapi tak lama sekolah ini ditutup pemerintah Belanda dengan alasan Albers tidak mempunyai Kartu Penduduk. Baru dua tahun kemudian (1865), sekolah ini dibuka kembali dan Lie Kimhok kembali bersekolah. Tapi setahun kemudian, Lie Kimhok terpaksa ‘putus-sekolah’ lagi karena ayahnya harus balik pindah ke Bogor (1866).

Tiga tahun lamanya (1866-1869), Lie Kimhok belajar sekolah Tionghoa partikelir yang gurunya terus berganti-ganti (Tan Liok Ie, Phoa Tjiok Lim dan Kouw Boen Hong) sehingga tidak banyak yang dia peroleh dan Lie Kimhok tetap tidak bisa membaca huruf Hanzi ! Tapi menurut Lie Kimhok pada waktu ia berusia lebih lanjut, justru pelajaran yang diperolehnya dalam waktu 3 tahun itulah yang telah memberikannya sesuatu yang bernilai. Saat itu ia hanya menghafalkan ujar-ujar Nabi Kong Zi seperti ‘ren bu zhi, er bu yun, bu yi junzi hu ?’ (Sekalipun orang tidak mau tahu, tidak menyesal, bukankah itu sikap seorang Junzi) dan ‘xue xi di yi’ (Belajar itu yang paling penting/nomor satu) tanpa tahu apa artinya. Kelak ketika ia diberitahu sahabatnya tentang arti kata-kata itu, ia sangat terkejut karena sabda Nabi itu sesuai benar dengan pikirannya selama ini dan dia mengakui bahwa tidak ada kata lain yang bisa menyamai ketepatan dari kata-kata itu.

Pertengahan tahun 1869, zendeling S. Coolsma mulai membuka sekolah-zending di Bogor. Lie Hian Tjouw yang berpandangan maju dan mengakui bahwa ilmu pengetahuan barat jauh lebih maju (ketimbang Tiongkok pada masa itu) segera menyekolahkan anaknya di sekolah zending itu. Disini yang menjadi guru Lie Kimhok adalah S(ierk) Coolsma sampai tahun 1873 dan seterusnya dilanjutkan oleh Van der Linden. Linden inilah yang paling lama mengajar Lie Kimhok sehingga hubungan guru dan murid ini menjadi begitu dekat.

Saat itu Lie Kimhok telah duduk sebagai murid kelas tertinggi dan sambil melanjutkan pela­jarannya, ia membantu mengajar di kelas-kelas rendahan sebagai ‘pembantu guru’ dengan menerima uang saku f 5,- sebulannya. Di bawah bimbingan Van der Linden, Lie Kimhok menamatkan pelajaran rendah dan bekerja di percetakan Zending dengan mendapat ongkos jalan f 40,- sebulannya. Pada waktu-waktu yang senggang ia menerima juga pelajaran lanjutan dari zendeling Van der Lin­den.

Van der Linden memiliki sebuah percetakan, dibeli dari Ds. E.W. King, prediken Vrije Schotsche Zending (Rehoton Zendingspers) di Jatinegara bersama hak-hak penerbitannya. Majalah-majalah Kristen yang diambil oper itu ialah ‘De Opwekker’ (bulanan bahasa Belanda) dan ‘Bintang Johar’ (lanjutan ‘Bianglala’), setengah bulanan, sebagian Belanda, sebagian pula Melayu. Percetakan itu dipindahkan zendeling Van der Linden dari Jatinegara ke Bogor, dan Lie Kimhok turut serta mengurus majalah-majalah itu. Karena itulah pengetahuan Lie Kimhok tentang agama Kristen sebenarnya jauh lebih mendalam dari Huaqiao manapun di Hindia Belanda saat itu. Yang pasti Lie Kimhok tidak pernah dipermandikan secara Kristen seperti Huaqiao lain yang terpengaruh setelah mendapat didikan secara Kristen.

Pada awalnya, Lie Kimhok ketika masih muda sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Kristen. Itu bisa dilihat dari buku-buku berbahasa melayu karyanya seperti ‘Kitab Eja’ dan ‘Sobat Anak-Anak’ yang mana didalamnya terdapat banyak puji-pujian terhadap Tuhan yang sangat dipengaruhi oleh agama Kristen. Begitu juga dalam doa-doa yang terdapat dalam syair ‘Siti Akbari’.

Coolsma mengatakan, nafsu belajarnya Lie Kimhok besar sekali (de honger van zijn geest was groter dan die van zijn maag). Van der Linden berpendapat, patutnya Lie Kimhok menjadi guru sekolah (hij was geschikt voor onderwijzer). Caranya mengajar sabar dan jelas, sederhana dan mudah dipahamkan oleh murid-muridnya. Ia mengerti baik bahasa Sunda dan Melayu. Bahasa Belandanya pasif cukup baik (ruim voldoende), aktif kurang lancar. Pada masa itu sangat jarang orang Tionghoa yang bisa berbahasa Belanda. Hanya anak-anak hartawan kaya atau anak kapten Tionghoa yang diberi ijin oleh pemerintah untuk belajar di sekolah-sekolah yang didirikan bagi anak-anak bangsa Eropa.

Karena anjuran gurunya untuk dapat menampung anak-anak yang tidak mendapat kesempatan bersekolah pagi, Lie Kimhok sendiri telah membuka sekolah yang ia pimpin sendiri di Kampung Tengah, dekat rumah tinggalnya.

Untuk membantu murid-muridnya mempelajari bahasa Melayu, Lie Kimhok telah menciptakan suatu sistem ejaan agar bisa memudahkan murid-murid yang mempelajari bahasa Melayu. Beberapa bekas muridnya di sekolah-partikelir ini pernah membicarakan tentang buku ‘Ba Da Fa’.

Kelak sistem ciptaannya ini dicetak men­jadi buku dengan judul ‘Kitab Edja’. Karena pengetahuannya yang cukup mendalam, Lie Kimhok bahkan melakukan pelbagai perbaikan terhadap bahasa Melayu Rendah yang dia namakan sebagai ‘Melayu-Betawi’. Pada akhir abad ke-19 di Jakarta gempar tersiar berita, hampir saja ‘Malayu-Batawi’ itu dipakai di sekolah-sekolah pemerintah; hanya karena Lie Kimhok merasa keberatan pada perubahan-perubahan yang hendak diadakan, maka kesudahannya telah dipakai ‘bahasa’ (ejaan) Ophuysen. Ejaan Ophuysen inilah yang menjadi sistem ejaan pertama Bahasa Indonesia.

Entah karena rasialis (karena penciptanya orang Huaqiao) atau karena alasan tertentu yang tidak diketahui, HB Jassin bahkan kemudian menolak menyebut bahasa Melayu-Batawi ini sebagai cikal bakal bahasa Indonesia. Pemerintah RI mengikuti cara HB Jassin ini sehingga semua karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu-Betawi ini tidak diakui sebagai sastra Indonesia. Karena penggunaan bahasa Melayu-Betawi ini tersebar luas tidak hanya di Betawi, maka bahasa ini kini lebih sering disebut Bahasa Melayu-Tionghoa !

Suka dan Duka Menempa Jiwa

Pada masa itu pemuda-pemudi Huaqiao biasa kawin muda dalam usia belasan tahun, tapi hingga mencapai usia 23 tahun, Lie Kimhok tetap seorang ‘perjaka tua’. Ayahnya bukannya tidak berusaha menjodohkan anaknya, tapi memilih jodoh yang baik memang tidak mudah apalagi Lie Kimhok sendiri tampak sedikit ‘takut’ untuk menikah. Lie Kimhok sering membaca buku dan sering mendapati cerita tentang seorang istri yang tidak dapat ‘menjadikan rumah sebagai surga, yang polos menjadi berwarna, yang mati bersemangat dan yang gelap menjadi terang’.

Sebaliknya ayahnya, Lie Hian Tjouw sangat berhati-hati dalam mencari menantu. Ada gadis yang elok, tetapi genit; ada yang alim dan cantik, tetapi cacat nama keturunannya atau orang tuanya berpenyakit loksun (TBC), gila atau tayko (lepra) yang dianggap dapat menurun ke anak cucu. Akhirnya pilihan Lie Hian Tjouw jatuh pada putri Oey Giok Djoe di Gadok, Bogor Selatan yang bernama Oey Pek Nio alias Roti, saat itu berusia 16 tahun, sedang Lie Kimhok berusia 23 tahun.

Oey Pek Nio itu tidak cantik jelita, orangnya kecil dan kurus, kundainya besar, dan meskipun tidak memenuhi seluruh keinginan, tetapi dia terkenal karena Laku Baktinya kepada kedua orang tuanya, sopan, rajin, keturunan baik dan tidak dikhawatirkan mengandung sakit turunan.

Lie Kimhok tidak bisa menolak ketika akhirnya dinikahkan dengan Oey Pek Nio pada tahun 1876. Dan ternyata kekhawatiran Lie Kimhok itu tidak beralasan sama sekali. Oey Pek Nio ternyata seorang istri yang ‘sempurna’ sehingga Lie Kimhok merasakan banyak waktu yang berbahagia di samping istrinya ini.

Setahun kemudian (1877), Oey Pek Nio melahirkan seorang bayi, tapi sayang sang bayi tidak berumur panjang dan meninggal dunia tak lama kemudian.

Tahun 1879, ibunda Lie Kimhok yakni Oey Tjiok Nio meninggal dunia. Setahun kemudian, sang ayah, Lie Hian Tjouw juga menyusul ke alam baka. Sebelum meninggal dunia, Lie Hian Tjouw berpesan, “Tahukah kamu, anak-anakku, keinginan terbesarku adalah melihat kamu berhasil di dalam hidupmu, keinginan ini bahkan besarnya melebihi kecintaanku kepadamu; demikian juga kekecewaan, rasa malu dan kedukaanku yang terbesar adalah jika kamu tidak berhasil sebagai orang baik-baik dan sopan.”

Sepeninggalan ayahnya, Lie Kimhok harus memikul beban sebagai kepala keluarga. Karena pekerjaan membantu gurunya, Van der Linden di percetakan Zending tidak memberikan nafkah yang cukup, maka Lie Kimhok harus mencari pekerjaan yang lain. Ia juga terpaksa menyerahkan ‘sekolah-partikelir’ miliknya kepada Oey Kim Hoat alias ‘Empek Kuntil’. Selanjutnya ia bekerja sebagai pembantu landmeter Van Deventer di Bogor, kemudian menjadi potiah (pengurus tanah partikelir) Thio Thian Soe di Kedunghalang (Bogor) dan kemudian dipindahkan ke Telukbuyung (Bekasi). Pekerjaan ini dijalaninya antara tahun 1880-1885.

Tahun 1881, Oey Pek Nio melahirkan seorang bayi bagi Lie Kimhok, tapi 22 hari kemudian istri tercinta itu meninggal dunia. Terpaksa bayi itu dikirim ke Gadok, ke rumah kakek luarnya, Oey Giok Djoe untuk dirawat di sana.

Kesedihan yang datang berturut-turut ini menimbulkan kedukaan yang amat dalam sehingga ia kemudian menduda selama 10 tahun lamanya.

Selama 5 tahun pertama Lie Kimhok tidak beristri lagi, orang menyangka, mungkin ia tidak ingin anak satu-satunya akan mendapat ibu tiri. Tapi tahun 1886, anaknya yang dirawat di Gadok juga meninggal dunia. Dan selanjutnya selama 5 tahun lagi dia tetap menduda.

Kedukaannya yang teramat dalam akibat kehilangan ‘belahan jiwanya’ itu diam-diam ditumpahkannya dalam sajak dan puisi. Walaupun Lie Kimhok merahasiakan kedukaan hatinya ini dan tidak ingin orang lain tahu, tapi beberapa ‘ungkapan hati’nya ini sempat muncul dalam karya-karya tulisnya.

Tak lama setelah Lie Kimhok meninggal dunia, sajak ungkapan hatinya yang diberi judul ‘Mijn Hart’ ini ditemukan dalam sebuah teromol (peti kaleng). Sajak ini belum pernah diberitahukan kepada siapapun dan tampaknya Lie Kimhok memang tidak berkeinginan untuk menerbitkannya. Tapi beberapa baris kalimat didalamnya sempat muncul dalam karyanya yang berjudul ‘Tjhit Liap Seng’ dan ‘Melayu-Betawi’.

Jiwa Khonghucu mulai memancar

Pada pertengahan kedua tahun 1885, guru Lie Kimhok yakni Van der Linden meninggal dunia sehingga percetakan Zending tidak ada yang mengurus. Nyonya Van der Linden lalu menawarkannya kepada Lie Kimhok dengan perjanjian ringan (f 1000,- yang dapat dibayar secara diangsur).

Dengan pertolongan sahabat-sahabatnya dalam hal finansial, Lie Kimhok setuju untuk membeli percetakan itu, yang kemudian dipindahkan dari Pledang Tengah ke Kampung Tengah (rumah No. 182), tidak jauh dari rumah tempat tinggalnya sendiri (rumah No. 150).

Walaupun sejak muda sudah mendapat pengajaran tentang agama Kristen yang cukup mendalam, terutama dari tiga orang guru yang sangat dihormatinya, tapi Lie Kimhok memang terlahir dan ‘berjodoh’ dengan agama Khonghucu.

Awalnya Lie Kimhok muda sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Kristen. Tapi pengaruh agama KHC dalam Lie Kimhok jauh lebih kuat dalam dirinya. Dalam agama Kristen lebih ditekankan tentang ‘Cinta Kepada Tuhan’ dan bahkan Yesus pernah berkata, “Tinggalkan semua orang yang engkau kasihi dan ikutlah denganku.” Sebaliknya agama Khonghucu lebih menekankan pada Laku Bakti (Xiao) dan Kemanusiaan (Ren).

Rasa hormat dan cinta, Lie Kimhok terhadap para gurunya, yang tak lain adalah para misionaris kristen itu, begitu murni dan tulus. Jauh lebih menyerupai ajaran Laku Bakti dalam agama KHC ketimbang Cinta Kasih dalam agama Kristen.

Sejak gurunya, Van der Linden meninggal dunia dan dikuburkan di pemakaman (untuk orang Eropa) Kebun Jahe, Bogor, setiap tahun setiap hari raya Paskah dan Natal, Lie Kimhok senantiasa datang berziarah ke makam gurunya itu. Mana ada orang Kristen yang melakukan hal seperti ini ? Walaupun tidak sehebat Zi Gong yang berkabung dan menjaga kuburan Nabi Kong Zi selama 6 tahun penuh, selama 10 tahun sejak kematian gurunya, Lie Kimhok tidak pernah lupa berziarah ke sana sehingga hal ini cukup mengherankan bapak penjaga pekuburan yang menyaksikan seorang Huaqiao, datang mengheningkan cipta dan menabur bunga di makam seorang Belanda. Setiap kali bapak penjaga kuburan itu bertanya tentang siapa dirinya, Lie Kimhok senantiasa menjawab, “Babah dari pasar …”

Kecintaan Lie Kimhok terhadap agama Khonghucu semakin nampak ketika ia menulis buku ‘Hikayat Khong Hoe Tjoe’ pada tahun 1896, yang lalu diterbitkan oleh percetakan G. Kolff & Co. pada tahun 1897. Mengapa pengaruh agama KHC ini begitu lambat ‘memancar keluar’ dari dalam diri Lie Kimhok ? Mungkin karena Lie Kimhok tidak mengenal bahasa Mandarin sedikitpun sehingga ia tidak bisa mempelajari agama KHC dari bahasa aslinya. Bahkan buku ‘Hikayat Khong Hoe Tjoe’ ini diterjemahkan oleh Lie Kimhok dari bahan-bahan berbahasa Belanda !

Ini adalah usaha pertama kali untuk memperkenalkan kembali nama besar Nabi Kong Zi kepada orang-orang Huaqiao-Indonesia yang selama berabad-abad ‘dibodohkan’ oleh pemerintah Kolonialis Belanda.

Lie Kimhok dan THHK

Nama Lie Kimhok tercantum sebagai salah satu dari 20 pendiri Tiong Hoa Hwe Koan (THHK). Walaupun hanya menjabat sebagai penulis sementara merangkap anggota komisi yang merencanakan Anggaran Dasar dan di dalam pengurus tetap ia tercantum sebagai salah seorang komisaris, tetapi hampir semua pekerjaan tulis-menulis dilakukan olehnya, termasuk ‘Surat Kiriman’ yang disebarkan kepada Huaqiao di Batavia dalam wujud brosur dan kemudian dimuat pula di surat-surat kabar, setelah T.H.H.K. Batavia disahkan pemerintah Hindia Belanda tanggal 3 Juni 1900.

Peran penting Lie Kimhok bagi THHK diutarakan sendiri oleh Khouw Kim An, salah satu pendiri THHK, yang mengatakan : “… antara orang-orang yang giat ikhtiarkan pendiriannya itu perkumpulan ada tuan Lie Kimhok.” Di buku ‘Riwayat 40 Tahun T.H.H.K.’ dimuat juga potret Lie Kimhok dan untuk usaha-usahanya dalam tahun-tahun pertama berdirinya perkumpulan itu, nama Lie Kimhok disebut lebih 30 kali: halaman-halaman 5,6,13,16,18,19,28,29,30,31,32,33, 35, 36, 54, 55, 61, 64, 81, 83, 92, 120, 124, 125, 127, 133, 143, 199, 203, 213, 222, 229, 235, 236 dan 276.

Tan Goan Kiat (anggota-anggota T.H.H.K.-Bogor) menyatakan, anggaran dasar T.H.H.K.-Jakarta telah direncanakan oleh Lie Kimhok, digunakan sebagai contoh dan pokok oleh T.H.H.K.-T.H.H.K. di seluruh Indonesia. Perkumpulan demikian memang angan-angan Lie Kimhok kira-kira sejak 20 tahun sebelum TH.H.K. pertama berdiri.

Tan Chong Long (1885-1945) sebagai anggauta-pengurus T.H.H.K.-Jakarta berkata: “Kegiatannya mengurus Hwee Koan mengagumkan, kerelaannya guna masyarakat mengirikan hati.”

Riwayat Lie Kimhok ini sudah coba disingkat dan diambil intinya yang berhubungan dengan agama KHC. Karena sudah dirasa sudah terlalu panjang, maka terpaksa dihentikan sampai disini. Pada bagian selanjutnya akan dituturkan tentang kiprah Lie Kimhok membela Agama KHC dalam kapasitasnya sebagai anggota THHK.

(Bersambung)

Hasil dari benih yang ditebar

Tjoa Tjeng Jang sangat tertarik dengan saran yang diajukan komisi bentukan THHK itu, tapi ketika Tjoa Tjeng Jang mencoba menjalankan ke 25 pasal itu, ibu dan famili-famili perempuannya yang lain (yang berusia lebih tua) langsung memberikan tentangan keras sehingga menimbulkan percekcokan besar dalam keluarganya. Bahkan kabarnya sang ibu sampai mengucurkan air mata, bukan hanya karena menangisi kematian suaminya, tapi juga karena sangat dongkol dengan sikap anaknya yang dituduhnya telah menggunakan aturan ‘Kristen’ hingga berlaku tidak berbakti kepada orang tuanya.

Tjoa Tjeng Jang yang merasa kewalahan sekaligus jengkel dengan celaan ‘Anak Tidak Berbakti’, lalu kembali meminta ‘perlindungan’ dan pembelaan dari THHK. Begitu upacara pemakaman ayahnya usai, ia lalu menulis surat kepada THHK Batavia untuk memberitahukan bahwa karena hendak menjalankan ke 25 rekomendasi dari komisi khusus THHK, ia kini telah dicap sebagai ‘Anak Tidak Berbakti’ dan ia memohon agar THHK mau menjelaskan bagaimana seorang anak harus bertindak agar bisa disebut berbakti kepada orang tuanya.

Dengan adanya pertanyaan ini, kembali THHK Batavia membentuk satu komisi khusus untuk memeriksa kitab-kitab suci agama Khonghucu untuk mempelajari setiap ayat yang berhubungan dengan Laku Bakti. Saat itu ada 21 pasal atau ayat yang diambil dari kitab ‘Xiao Jing’ (Kitab Bakti) dan ‘Lun Yu’ (Sabda Suci) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa melayu dan kemudian dikirimkan kepada tuan Tjoa Tjeng Jang dengan maksud menunjukkan bahwa segala perubahan yang telah dilakukan oleh Tuan Tjoa Tjeng Jang (berdasarkan rekomendasi komisi THHK) bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Laku Bakti.

Di bawah ini terkutip surat yang dikirim oleh para pengurus THHK Batavia pada Tuan Tjoa Tjeng Jang : (sebagian bahasa melayu-Tionghoa, sudah diedit ke bahasa Indonesia-EYD untuk memudahkan para pembaca junzigroup ini. Sebagian perubahan dilakukan untuk memperjelas arti yang dimaksud {seperti istilah penggunaan istilah ‘penanggalan Kongzili’}, tidak untuk mengubah arti – penulis)

BATAVIA, 26 bulan 11 tahun 2451 penanggalan Kongzili

16 Januari 1901

No.35

Kepada

Tuan TJOA TJENG JANG

Yang terhormat di Sukabumi

Tuan,

Dengan hormat dan dengan rendah hati saya berdua mengirimkan surat ini untuk membalas surat tuan yang sudah lama terkirim pada pengurus Tiong Hoa Hwe Koan guna menanyakan perkara ‘Laku Bakti’ (Kecintaan anak pada orangtuanya).

Di dalam surat tuan itu disebutkan bahwa ada orang yang mengatakan bahwa perbuatan tuan dalam mengurusi wafatnya ayah tuan yang tercinta tidak sesuai dengan ‘Laku Bakti’. Juga dalam surat itu tertulis bahwa tuan telah mengatakan sebagai berikut : “Dalam bersikap ‘Laku Bakti’ itu : Kita harus mencintai dan menghormati orang tua kita. Selagi mereka masih hidup hendaknya jangan sampai kita menyusahkan hatinya dan sesudah mereka meninggal dunia hendaknya kita menjaga diri dan tindakan agar jangan sampai merusak nama baik orang tua kita.”

Perkataan terakhir inilah yang sangat benar.

Maka seandainya sekarang saya hanya mengatakan bahwa Tuan sudah memahami dan menyatakan sikap Laku Bakti dengan benar dan cukup mengena, jadi singkatnya pernyataan ini sudah boleh dianggap sebagai jawaban dari surat tuan.

Akan tetapi saya mengingat sesuatu sehingga barangkali ada baiknya jika saya uraikan sedikit tentang penuturan singkat tuan tentang Laku Bakti meskipun menurut pengetahuan saya yang tidak seberapa ini, saya berharap meskipun uraian saya ini nantinya banyak mengandung kekurangan siapa tahu masih ada gunanya, sebab apa yang akan saya uraikan ini bukan berasal dari pikiran saya sendiri melainkan berasal dari sabda-sabda Nabi Kong Zi, Zeng Zi dan Meng Zi.

Tuan sendiri tentu sudah mengetahui bahwa ayat-ayat dalam kitab klasik Tiongkok agak sulit untuk diterjemahkan secara tepat dalam bahasa melayu, untuk itulah saya tambahkan disini bahwa apa yang saya uraikan nanti berasal dari kitab-kitab klasik Tiongkok, sehingga dengan demikian jika saya ada kekeliruan dalam menerjemahkannya, tuan boleh membuang catatan dari saya dan cukup menelaah saja arti dari ayat-ayat dari kitab klasik Tiongkok itu.

(Disini ada dimuat satu per satu itu 21 pasal ujar-ujar dari ‘Lun Yu’ dan ‘Xiao Jing’ yang berhubungan dengan ajaran Laku Bakti, tapi tidak kita tulis dalam artikel ini sebab akan terlalu panjang jadinya).

Pada penutupnya, para pengurus THHK menyatakan sebagai berikut :

“Dari apa yang telah diuraikan diatas (21 pasal tentang Laku Bakti) dapat dilihat bahwa jikalau seorang anak saat mengurus kematian orangtuanya tidak dengan membakar toa-gin, gin-shoa, leng-chu dan sebagainya itu, juga tidak memakamkan jenasah orang tuanya dengan menggunakan acara yang ramai dan meriah, ia tidak harus disebut telah bertindak melawan sikap Laku Bakti.

Dengan segala hormat,

Dengan nama TIONG HOA HWE KOAN

KHOE SIAUW ENG selaku Penasehat

LIE KIM HOK selaku Komisaris

Untuk membersihkan namanya, maka Tjoa Tjeng Jang dengan persetujuan para pengurus THHK Batavia pada tahun 1901 menerbitkan buku yang berjudul ‘Ko Tjek Boet Tan Kai’ (Jika berbuat salah janganlah takut untuk memperbaiki). Dalam buku ini dimuat tentang 25 pasal yang direkomendasi THHK plus 10 pasal lagi yang ditambahkan oleh pengurus THHK (tertanggal 23 Februari 1901), serta surat Komisi THHK yang tersebut diatas.

Begitu buku berjudul ‘Ko Tjek Boet Tan Kai’ ini disebarluaskan, walaupun ada reaksi negatif tapi justru reaksi positif yang dipanen oleh THHK ini. Kwee Tek Hoay menyebutkan demikian : “ … setidaknya telah membikin orang yang merasa jengkel dengan segala tekanan adat kebiasaan kuno, tapi sampai sebegitu jauh tidak berani melawannya, kini merasa begitu senang dan gembira sehingga bukan saja di hampir semua kota besar di Indonesia orang-orang bergerak mendirikan THHK atau mengajukan permintaan untuk menjadi ‘cabang’, tapi sebagian orang malah makin asyik memikirkan untuk melakukan perubahan-perubahan lebih jauh. Maka saat itu telah terjadi banyak surat menyurat antara para pemuka pergerakan di pelbagai tempat dengan para pengurus THHK Batavia yang kini telah berubah menjadi tempat berharap kaum muda Huaqiao yang mengharapkan tidak hanya petunjuk atas pelbagai hal seperti pengorganisasian sebuah perkumpulan, pendirian sekolah-sekolah melainkan juga berharap THHK menjadi pemimpin yang memberikan nasehat dan keterangan dalam hal melakukan perubahan terhadap adat kebiasaan yang selama ini merupakan hal yang masih asing bagi para Huaqiao.”

Dari sambutan yang begitu hangat dan antusias, orangpun bisa membayangkan sendiri bagaimana repotnya pekerjaan para pengurus THHK Batavia yang mendadak harus berlaku sebagai pemimpin dari suatu gerakan besar yang menjalar dengan sangat cepat ke seluruh wilayah Hindia-Belanda. Untungnya dalam kepengurusan THHK itu telah duduk beberapa orang yang walaupun tingkat pendidikannya tidak begitu tinggi seperti para cendekiawan jaman sekarang, tapi setidaknya mereka mempunyai kepandaian dan ketulusan yang membuat mereka bisa menjalankan kewajiban yang sangat sukar itu dengan tidak mengecewakan. Diantara mereka yang berjasa itu harus dicatat :

– Phoa Keng Hek yang karena pergaulannya yang luas dengan orang-orang Eropa telah mempermudah akses untuk mendapatkan informasi penting tentang suatu pergerakan modern,

– Lie Hin Liam yang berpandangan Liberal dan terkenal giat baik dalam mengerahkan tenaga ataupun uang,

Lie Kim Hok, sastrawan agama Khonghucu yang telah mengatur dan membuat segala peraturan, pamflet dan pengumuman dalam bahasa melayu dengan tata bahasa yang indah dan rapi sehingga membuat siapa saja yang membacanya menjadi tertarik,

– Khoe Siauw Eng yang memahami bahasa mandarin dengan baik dan sanggup menerjemahkan kitab-kitab klasik Tiongkok ke dalam bahasa Melayu, juga sebagai penasehat THHK ia memikul tanggungjawab untuk mengurus dan menjawab setiap pertanyaan yang berhubungan dengan ajaran agama Khonghucu,

– Khoe A Fan, seorang Huaqiao totok dari suku Khe yang berpandangan luas tentang pergerakan modern,

– Tan Kim San yang terhitung sebagai pakar dalam bahasa Inggris dan Mandarin serta mempunyai niat keras untuk memperbaiki keadaan bangsanya,

– Tan Tjong Long yang juga terpelajar dalam bahasa Inggris dan Mandarin serta pandai juga mengarang dalam bahasa Melayu,

– Tan Kim Bo yang menjabat sebagai Sekretaris memikul pekerjaan yang paling berat dalam hal mengurus dan menjawab segala surat-surat, mengatur para notulen, dan sebagainya.

Majalah Li Po

Adapun pekerjaan berat dari para pengurus THHK untuk memimpin gerakan besar dari para Huaqiao di seluruh Hindia Belanda ini akhirnya dapat sedikit diperingan dengan terbitnya mingguan Li Po di Sukabumi dibawah pimpinan tuan Tan Ging Tiong dan Yoe Tjai Siang, Meskipun itu hanya mingguan kecil tapi telah dijadikan halaman tempat berunding dalam membicarakan ajaran agama Khonghucu dan pelbagai adat istiadat bangsa Tionghoa sehingga pertanyaan-pertanyaan yang tadinya orang kirimkan kepada para pengurus THHK Batavia, kini bisa diajukan ke dalam mingguan ini buat dijawab oleh redaksinya ataupun oleh para pembaca dari segala tempat. Tidak jarang telah terjadi perdebatan dan perbantahan kalam di mingguan ini, bahkan antara tuan Tan Ging Tiong dan Yoe Tjai Siang yang merupakan redaktur dari itu mingguan telah timbul perdebatan sengit dalam urusan membuang tauwcang (simpul rambut bagi bangsa Tionghoa sebagai simbol penjajahan oleh bangsa Manzu) yang disetujui oleh Yoe Tjai Siang tetapi ditentang oleh Tan Ging Tiong. Tan Ging Tiong berpendapat bahwa memotong dan membuang tauwcang bertujuan untuk menghapuskan penghinaan terhadap leluhur yang dijajah oleh bangsa manzu.

Kebiasaan membuang tauwcang ini konon dimulai di Tiongkok ketika Dr. Sun Yat Sen memimpin Revolusi Tiongkok dan akhirnya berhasil menggulingkan dinasti Qing pada tahun 1911. Jadi 10 tahun sebelum kaum nasionalis di Tiongkok membuang tauwcang, umat KHC di Indonesia sudah pernah memperjuangkan hal ini. Bukankah ini luar biasa ?

Lalu terbit pula perdebatan antara Tan Ging Tiong dengan beberapa pembaca mingguan Li Po dalam soal menghitung lamanya masa perkabungan yakni apakah bulan tambahan (Run) dihitung satu bulan atau tidak dihitung.

Sedang bulan Run harus dihitung, jadi seumpama orang menghitung masa berkabung 1 tahun yang dimulai pada awal bulan satu lalu di pertengahan tahun itu ada bulan Run, maka masa perkabungan itu dianggap selesai di akhir bulan ke sebelas. Tan Ging Tiong beralasan jikalau tidak ditetapkan aturan ini maka akan ada famili yang berkabung selama 12 bulan tapi ada pula yang berkabung selama 13 bulan, jadi ini akan menjadi sesuatu yang ganjil dan berat sebelah.

Tapi keterangan ini telah dibantah oleh beberapa orang pembaca dengan berdasarkan keterangan yang didapat dari kitab ‘Li Ji’ (Catatan Kesusilaan) dimana bulan Run tidak harus dihitung. Tapi Tan Ging Tiong tidak mau menyerah begitu saja karena menurutnya perkabungan kecil yang cuma berjalan satu, tiga atau enam bulan saja, tidak dihitungnya bulan Lun akan menerbitkan keadaan yang ganjil dan kalut. Akhirnya tuan Lie Kim Hok datang menyela dengan mengajukan pemikiran sebagai berikut : buat perkabungan besar yang memakan waktu hingga 3 tahun, maka bulan Run bisa tidak dihitung, sedangkan untuk perkabungan kecil (1 tahun) bulan Run harus ikut dihitung. Sampai disinilah barulah orang-orang yang berdebat itu merasa puas.

Pada paragraf pertama, sengaja kata-kata “aturan ‘Kristen’” digarisbawahi. Ini bukan saja tuduhan ibu Tjoa Tjeng Jang kepada anaknya seorang melainkan banyak pihak (berpikiran kolot) yang menggunakan istilah ini untuk menyerang para pengurus THHK. Sebabnya adalah karena golongan kolot/konservatif ini merasa mewarisi kebudayaan Tiongkok yang asli dari leluhurnya (tanpa ada usaha belajar/menyelidiki/mendalami lebih jauh, hanya sekedar pengakuan pribadi) lalu menuduh para pengurus THHK yang nyatanya memang berpendidikan ‘kristen’ tengah melakukan Kristenisasi dengan kedok ‘Agama Khonghucu’ ! Lebih jauh lagi bahkan istilah ‘Agama Khonghucu’ itu sendiri belum didefinisikan secara jelas pada masa itu karena memang tidak ada pakar/tokoh agama KHC yang benar-benar ‘murni’ mendapatkan pengajaran agama KHC dari Tiongkok sana ! Tapi benarkah tidak ada Tokoh (Huaqiao-)Indonesia yang benar-benar beragama Khonghucu pada masa itu ?

Kita sebagai orang yang hidup di masa kini (baca : generasi berikutnya), berdasarkan catatan hidup orang-orang yang disebutkan diatas, baru bisa menilai kadar ke-khonghucu-an dari mereka (yang sudah wafat), apakah pantas mereka dikatakan telah ‘Menempuh Jalan Suci’ atau belum.

Dalam usianya yang begitu belia, kebangkitan agama KHC ini telah mendapat serangan bertubi-tubi yang begitu dahsyat. Tidak hanya serangan dari kaum Huaqiao sendiri, bahkan akan menyusul serangan dari umat agama lain yang terang-terangan ‘menyerang’ (jika tidak mau disebut menghina) ajaran agama KHC itu sendiri. Jika tidak ada Tokoh yang benar-benar ‘Khonghucu’, bagaimana kelanjutan nasib dari ‘kebangkitan’ agama KHC di Indonesia ini ?

Bintang penyelamat itu adalah Lie Kim Hok, nama yang telah berkali-kali disebutkan diatas (juga salah satu dari 20 orang pendiri THHK). Tapi dalam perkembangan berikutnya, bintang ini akan semakin cemerlang sinarnya sebagai Tokoh Agama KHC Indonesia yang pertama !

Tulisan berikutnya akan membahas riwayat hidup Lie Kim Hok (1 November 1853 6 Mei 1912), putra Indonesia kelahiran Bogor yang bahkan tidak mengerti tulisan Tionghoa sehingga tidak bisa membaca kitab suci agama KHC dalam bahasa aslinya, tapi kadar ke-Khonghucu-an tidak perlu diragukan lagi !

(Bersambung)

Tiong Hoa Hwe Koan

Sebelum berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), para Huaqiao di Indonesia sebenarnya sudah punya beberapa organisasi kemasyarakatan. Tapi organisasi atau perkumpulan ini hanya aktif dibidang sosial terutama dalam urusan pemakaman bangsa Tionghoa yang memang agak rumit dan merepotkan jika dilakukan oleh orang pribadi sendirian tanpa bantuan dari orang lain. Perkumpulan ini antara lain Tjoe Hoe Tee Beng dan Khoe Sien Hap Kiet, yang didirikan tahun 1869. Sedang perkumpulan diluar bidang sosial, justru bersifat merusak seperti halnya ‘organisasi mafia’ yang mana anggota-anggotanya sering terlibat perkelahian dan kerusuhan yang justru merugikan kalangan Huaqiao itu sendiri.

Salah satu sebab mengapa organisasi-organisasi itu saling terlibat perseteruan adalah karena organisasi itu bersifat kedaerahan, dimana keanggotaan sebuah organisasi biasanya berasal dari satu suku yang sama seperti suku Hokkian, Hakka, Kwongfoe, Tio Tjsoe dan lain-lain.

Di awal abad ke 20 ini, beberapa orang yang cukup terpelajar mulai mempunyai angan-angan untuk mendirikan sebuah perkumpulan baru di Batavia (sekarang Jakarta) yang ‘lain daripada yang lain’ yaitu berdasarkan pada kesopanan Tionghoa, terutama bersandar pada pengajaran Nabi Kong Zi !

Pada suatu hari, empat orang yakni Tan Kim San, Oey Koen Ie, Lie Hin Liam dan Lie Kim Hok datang ke rumah Phoa Keng Hek di Mangga-Besar untuk mengutarakan maksudnya mendirikan perkumpulan baru dan meminta bantuan tuan rumah guna mengundang Kapitein Oey Giok Koen yang akan diangkat menjadi ‘President’ (baca : pemimpin/ketua) dari perkumpulan baru ini.

Phoa Keng Hek setuju untuk ambil bagian lalu mengadakan sebuah pertemuan di sebuah gedung di Patekoan pada tanggal 17 Maret 1900. Menurut penuturan Khouw Lam Thiang, saat Kapitein Oey Giok Koen diminta kesediaannya menjadi president perkumpulan baru ini, dia menolak dengan alasan saat itu dia telah menjadi President dari perkumpulan Tjoe Hoe Tee Beng sehingga ia tidak punya waktu tersisa untuk memimpin perkumpulan yang lain.

Saat itu Phoa Keng Hek justru belum datang ke pertemuan, tapi para hadirin telah sampai pada pemilihan pengurus dan kemudian sepakat untuk mengangkat Phoa Keng Hek sebagai president. Ketika Phoa Keng Hek tiba dan diberitahu hal ini, dia langsung menolak dengan keras pengangkatan ini. Tapi Lie Hin Liam lalu mengemukakan pendapatnya dan membujuk Phoa Keng Hek untuk menerima saja pengangkatan itu karena perkumpulan yang baru ini toh ‘tidak bisa awet’ ! Jadi akibat penolakan Kapitein Oey Giok Koen itu sempat menciutkan semangat para pendiri THHK ini.

Nama Tiong Hoa Hwe Koan

Siapakah yang telah mengusulkan nama ‘Tiong Hoa Hwe Koan’ untuk perkumpulan baru ini ? Menurut keterangan dari Khouw Kian An, yang mengusulkan nama ini adalah Khoe Siauw Eng. Penggunaan istilah ‘Tiong Hoa’ ini sendiri mengandung satu maksud bahwa perkumpulan baru ini mempunyai tujuan-tujuan pembaharuan. Sebab pada masa itu istilah ‘Tionghoa’ jarang digunakan karena para Huaqiao Indonesia lebih sering menyebut dirinya sendiri sebagai ‘Orang Tjina’.

Bahkan dalam Statuten (baca : AD/ART) THHK ini mula-mula masih digunakan istilah ‘Tjina’ dan bukan ‘Tionghoa’, jadi ‘Tionghoa Hwe Koan’ jika diartikan secara harafiah menjadi ‘Perkumpulan orang-orang Tionghoa’. Ini terdengar aneh karena statuten-nya disebutkan ‘bikin maju bangsa Tjina’ dan bukan ‘bikin maju bangsa Tionghoa’. Maksud untuk mengubah istilah ‘Tjina’ menjadi ‘Tionghoa’ ini akhirnya baru dapat ‘diwujudkan’ pada tanggal 16 Januari 1928 saat diadakan perubahan Statuten yang disetujui oleh Perhimpoenan-besar Loear-biasa (baca : Rapat Luar Biasa) dan disahkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda tertanggal 1 Juli 1930.

Organisasi Resmi yang Sah

Walaupun pertemuan pertama tanggal 17 Maret 1900 ini hanya dihadiri 20 orang yang kemudian diangkat menjadi pengurus THHK yang pertama (1900-1901), ini segera ditindaklanjuti dengan penandatanganan akte pendirian di kantor Notaris Brondgeest di Batavia. Akte ini dibuat dan ditembuskan kepada Gubernur Jendral Hindia-Belanda agar mendapatkan respon dan pengesahan.

Sebagai respon, pemerintah Hindia Belanda telah mengutus Van Sandick untuk menghadiri rapat perkumpulan baru ini dan mengajukan pertanyaan baik secara lisan ataupun melalui surat resmi. Dan semua pertanyaan ini selalu dibalas dengan cara berani, terus terang dan jelas.

Akhirnya pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan firman tertanggal 3 Juni 1900 No. 15 bahwa perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan itu telah disahkan keberadaannya ! Firman ini diumumkan dalam surat kabar ‘Javasche Courant’ tanggal 8 Juni 1900 no. 46.

Ide-ide Cemerlang yang mencerahkan

Awalnya THHK didirikan untuk memperbaiki kehidupan orang-orang Huaqiao-Indonesia dengan bersandar pada agama Khonghucu dan tidak bermaksud untuk mendirikan sekolah. Tapi tanggal 11 Juni 1900, atau 8 hari setelah THHK secara sah berdiri, yakni saat Phoa Keng Hek merayakan hari ultahnya, dalam pesta perjamuan itu, beberapa pengurus THHK telah mengajukan usul untuk mendirikan sekolah-sekolah.

Yang pertama kali mengajukan usul ini adalah Lie Kim Hok, Tan Kim San, Lie Hin Liam, Oey Koen Ie, Tan Tjong Long, Thio Sek Liong, Ang Sioe Tjiang, Khoe Siauw Eng dan Khoe A Fan.

Usulan ini segera mendapat sambutan dan langsung ditambahkan pada “Soerat Kiriman kepada sekalian Orang bangsa Tjina”, semacam pengumuman yang dikeluarkan pada bulan Juli 1900 dalam wujud buku kecil yang isinya menguraikan alasan pendirian dari THHK sekaligus harapan-harapan dari THHK untuk mendirikan sekolah-sekolah.

Adapun sekolah-sekolah THHK ini awalnya bertujuan untuk mengajarkan bahasa Mandarin agar para murid-muridnya bisa membaca dan mengerti kitab-kitab suci agama Khonghucu. Untuk tugas menyebarkan agama Khonghucu ini, pengurus THHK akan mempekerjakan seorang ‘Guru-Besar’ yang bukan hanya mengajar murid-murid sekolah THHK melainkan juga beberapa hari sekali memberikan ‘pengajaran’ kepada anggota THHK di gedung perkumpulan. Nantinya ‘pengajaran’ tentang Ajaran Nabi Kong Zi dari ‘Guru Besar’ ini akan dicatat dan dicetak dalam bahasa Mandarin dan Melayu, untuk kemudian dijual atau dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota THHK !

Bukankah ini sesuatu ide yang revolusioner ? Bahkan hingga awal abad ke 21 ini, sumbangsih pikiran para guru/dosen Indonesia bagi kemajuan pendidikan Indonesia masih dirasa sangat kurang ?

Juga perlu digaris-bawahi bahwa para pengurus THHK ini telah menekankan penggunaan bahasa Mandarin (dulu disebut ‘Tjeng-Im’, yakni bahasa Mandarin dialek Beijing) dan bukannya bahasa ‘daerah’ Hokkian, bahasa Hakka dan lain-lain. Yang mempunyai ide penggunaan bahasa Mandarin ini adalah Phoa Keng Hek sendiri. Seperti disebutkan diatas bahwa sebelum THHK didirikan banyak organisasi-organisasi yang bersifat kedaerahan sehingga sering menimbulkan perseteruan satu sama lain. Ke 20 pengurus THHK bisa dikatakan mewakili hampir semua suku Tionghoa dan sekolah yang hendak didirikan oleh THHK ini tegas menggunakan bahasa mandarin sebagai bahasa pengantar (sekaligus bahasa pemersatu) dan bukannya bahasa ‘daerah’ Hokkian, Hakka dan lain-lain.

Saya tidak tahu apakah hal ini juga menginspirasi para pemuda Indonesia untuk merumuskan bahasa pemersatu dalam Sumpah Pemuda 28 tahun kemudian ! Tapi yang pasti, ide ‘bahasa persatuan’ THHK ini mendahului berdirinya Republik Tiongkok (1912) yang kemudian merumuskan bahasa nasional negara Tiongkok ! Sebagai introspeksi disini, bahkan MATAKIN yang berdiri hampir setengah abad setelah THHK masih sering menggunakan bahasa Hokkian dan bukannya Mandarin resmi untuk menerjemahkan istilah-istilah agama Khonghucu ke dalam bahasa Indonesia. Karena itulah berkali-kali saya menghimbau agar MATAKIN segera mengadakan standarisasi besar-besaran dan secara konsisten menggunakan ejaan Hanzi Pinyin dalam penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia !

Topik Pertama : Perihal Upacara Pemakaman

Gagasan-gagasan baru yang disebutkan diatas memang adalah jasa-jasa THHK yang patut diketahui oleh generasi berikutnya. Tapi apa peran THHK yang nyata terhadap perkembangan agama KHC di Indonesia, padahal inilah topik utama tulisan ini ?

Rapat pengurus (vergadering) kedua tanggal 3 Oktober 1900 yang dimulai jam 10 malam, selain memutuskan perihal rencana pendirian sekolah THHK juga memutuskan perihal lain yang tak kalah penting.

Khoe Siauw Eng ditugaskan untuk mencari tahu dan menyusun aturan yang berlaku bagi Huaqiao-Indonesia di Batavia mengenai hal Mengurus Upacara Pemakaman (naskah aslinya berbunyi : Merawati hal kematian). Sedang Thio Sek Liong diwajibkan untuk mencari tahu dan menyusun aturan tentang upacara pernikahan (merajahken hal kawinan). Mereka berdua akan dibantu oleh Oey Koen Ie dan Ouw Tiauw Soey.

Secara kebetulan tanggal 25 November 1900, seorang anggota THHK di Sukabumi bernama Tjoa Tjeng Jang telah ditinggal mati ayahnya, Tjoa San Hok. Tjoa Tjeng Jang lalu meminta pertimbangan para pengurus THHK Batavia tentang bagaimana cara mengurus pemakaman dengan cara yang sesuai dengan agama Khonghucu !

Pengurus THHK segera mengutus Wakil President Ang Sioe Tjiang, 2 orang Komisaris Khouw Kim An dan Oey Koen Ie serta Penasehat Khoe Siauw Eng untuk pergi ke Sukabumi dan memberikan saran-saran untuk Tjoa Tjeng Jang.

Hasilnya adalah nasehat komisi itu untuk menghapus atau merubah 25 kebiasaan yang berhubungan dengan adat istiadat dalam melaksanakan upacara pemakaman.

Lebih dulu perlu dijelaskan disini bahwa sebagian besar dari aturan atau kebiasaan yang hendak direkomendasikan oleh Komisi THHK untuk menghapuskan atau merubah adat istiadat para Huaqiao yang salah kaprah, memang diakui tidak begitu dikenal atau bahkan sudah tidak dipakai lagi pada masa itu. Juga disebutkan bahwa apa yang hendak dirubah terutama adalah adat istiadat para Huaqiao yang berlaku di Jawa Barat sehingga boleh jadi adat istiadat yang disebutkan disini kemungkinan tidak dikenal di Jawa Tengah, Jawa Timur apalagi di pulau-pulau lain di Indonesia, sebab tempat-tempat itu juga mempunyai adat istiadat yang berbeda.

Jadi ketika komisi THHK membuat pengarahan ini, semua adat istiadat para Huaqiao yang salah kaprah ini benar-benar masih berlaku dan diikuti oleh para Huaqiao yang mendapatkannya secara turun temurun. Adapun pengarahan dari Komisi THHK ini adalah sebagai berikut :

1. Pelita yang dipasang di kaki pembaringan jenasah (Phoa Pouw-an) yang kemudian dipindahkan ke bawah kolong meja sembahyang dan harus dijaga supaya apinya tidak padam, semua ini berasal dari dongeng/legenda sedang Nabi Kong Zi tidak pernah mengatakan apapun mengenai hal ini, jadi kebiasaan ini tidak perlu dilakukan.

2. Bakar kayu di depan pintu. Nabi Kong Zi juga tidak mengatakan apapun mengenai hal ini, bahkan di negeri Tiongkok-pun tidak ada orang yang melakukan hal ini. Tidak perlu dilakukan.

3. Pada waktu peti jenasah hendak diberangkatkan ke kuburan, sebutir semangka dibanting hingga hancur berantakan. Nabi Kong Zi tidak mengatakan apapun mengenai hal ini, kebiasaan ini berasal dari Hikayat Li Shimin, kaisar dinasti Tang yang kedua, jadi tidak perlu dilakukan pula.

4. Xiaonan (putra almarhum) membeli air sungai untuk memandikan jenasah. Ini berasal dari kepercayaan takhayul. Lebih baik ambil air bersih darimana saja tak usah membeli dengan cara menyemplungkan uang ke dalam sungai.

5. Xiaonan meminta abu dapur pada tiga rumah tetangga. Tentang hal ini Nabi Kong Zi tidak pernah mengatakan apapun. Jadi menggunakan abu dari dapur sendiri sudah cukup. Di Tiongkok orang bahkan menggunakan abu dari kulit padi.

6. Melempar bantal beserta sepreinya ke atas genteng. Kebiasaan ini berasal dari agama orang Tibet (Xizang) dimana hal ini bermaksud untuk ‘mengganti’ badan/jenasah almarhum yang di Tibet biasa dibiarkan agar dimakan oleh burung.. Kebiasaan ‘Kubur di Udara’ (Tian Zang) ini tidak perlu dilakukan.

7. Xiaonan memakai pakaian berkabung dan mengenakan ikat kepala di depan pintu sambil makan mishoa. Nabi Kong Zi tidak pernah mengatakan apapun mengenai kebiasaan ini. Tidak perlu dilakukan.

8. Jip Bok Kan, boneka anak-anakan yang turut dimasukkan ke dalam peti mati. Nabi Kong Zi bahkan mencela kegiatan ini.

9. Xiaonan (putra almarhum) dan Xiaonü (putri almarhum) menangis jangan dibuat-buat, jangan menangis dengan mengeluhkan hal ini dan itu sebab kelakuan ini justru akan membuat susah orang yang benar-benar menangis sedih dan memberi rasa tidak enak pada orang yang mendengarnya. Di dalam kitab <<Xiao Jing>>, Nabi Kong Zi pernah mengatakan : ‘HAUW TJOE TJI SONG YA KOK POET LE’ yang berarti ‘Anak yang Berbakti pada saat berkabung karena kematian orang tuanya tidak menangis dengan dibuat-buat’.

10. Memutari dan menyundut paku di peti mati dengan api lilin, Nabi Kong Zi juga tidak pernah mengatakan hal ini. Jadi tidak perlu dilakukan.

11. Xiaonan dan Xiaonü tidur di batu. Lebih baik tidak usah dilakukan sebab badannya bisa menjadi sakit semua. Nabi Kong Zi pernah bersabda, “BIN BOE IE SOE SIANG SENG” yang berarti ‘Kita jangan sampai gara-gara orang yang meninggal dunia lalu sampai menyusahkan orang yang masih hidup’. Juga dikatakan pula, “SIN THE HOAT HOE SIOE TJI HOE BO POET KAM HOEI SIANG” yang berarti, ‘Badan, rambut dan kulit adalah pemberian orang tua kita karena itu tidak berani sampai merusaknya’.

12. Jenasah tidak perlu disemayamkan begitu lama di dalam rumah, maka jika sudah tersedia lubang kuburan lebih baik segera dikubur.

13. Jikalau peti mati sudah dikubur, keluarga almarhum tidak perlu membentangkan pintu rumahnya sepanjang malam lagi.

14. Barang-barang sesaji untuk sembahyang sebaiknya memilih sajian/makanan yang biasa dimakan sehari-hari. Jangan menggunakan sesaji macam-macam yang tidak umum seperti Tjhai Oah, Sit Oah dan lain-lain. Juga tidak perlu menggunakan kambing dan babi utuh sebagai barang sesaji. Nabi Kong Zi pernah berkata, “SONG IE KI IN IA LENG TJHEK” artinya ‘Orang yang sedang berkabung daripada meributkan tata cara dan perlengkapan perkabungan lebih baik jika ada rasa dukacita yang sungguh-sungguh’.

15. Kie Bee dilakukan jika sudah tiba ditempat, baiknya dilakukan di dalam rumah tidak usah di jalan besar.

16. Segala boneka kertas yang biasa digunakan/dikuburkan bersama tidak ada gunanya. Nabi Kong Zi pernah bersabda, “SI TJOK YONG TJIA KI BOE HOUW HOUW” artinya ‘Siapa yang menciptakan boneka untuk dikuburkan (Jip Bok Kan) putus turunankah dia ?’.

17. Hweesio (paderi Buddha) dan Sai Kong tidak begitu perlu. Nabi Kong Zi pernah mengatakan, “KONG HOUW IN TOAN SOE HAY YA IE” artinya ‘Yang belajar ajaran yang tidak-tidak, tentu hanya akan mencelakakan diri sendiri’.

18. Baju berkabung dari bahan karung kasar sebaiknya tidak usah. Cukup Xiaonan dan Xiaonü menggunakan pakaian dari kain putih yang agak kasar. Itu sudah cukup.

19. Menangis dengan berlutut di setiap jembatan yang dilalui dalam perjalanan menuju kuburan, atau pula mengikat kertas sembahyang (siu kim) di bawah jembatan, semua ini tidak perlu dilakukan.

20. Alat tetabuhan ataupun nyanyian duka tidak perlu diadakan. Nabi Kong Zi pernah mengatakan, “HOE KOEN TJOE TJI KI SONG YA BOEN GAK POET LOK” artinya ‘Adapun seorang Junzi itu jika sedang berkabung, sekalipun mendengar musik (yang indah) tetap tidak akan bisa menggembirakan hatinya (yang sedang berduka)’.

21. Hauw Phui sebaiknya dilakukan pada waktu biasa orang sedang duduk makan.

22. Toa-gin, Gin-shoa, Phoei Teng dan Leng Tjhoe tidak ada faedahnya sama sekali. 23. Hoen-Sien juga tidak ada gunanya.

24. Meng-qi (perabot dapur untuk arwah almarhum) sebaiknya tidak perlu digunakan. Dahulu saat anak Yan Leng Koei Tjoe meninggal dunia, ia juga tidak menggunakan Meng-qi. Kong Zi sangat memuji hal ini.

25. Orang-orang atau famili almarhum sebaiknya ‘memberitahukan’ pada orang dengan menggunakan kain putih dan kain biru untuk menunjukkan jauh dekatnya hubungan keluarga. Ia orang boleh cukur pada sebelumnya ‘balik to’ (Thia Leng) dan kalau ‘kasih to’ jangan pakai san-sheng {tiga daging yang mewakili udara(ayam)-air(ikan)-darat(babi)} dan lain-lain, cukup pakai ‘tee-liauw’ dan ‘lilin’ saja.

Demikianlah adanya 25 macam perubahan yang direkomendasikan oleh Komisi Khusus THHK itu kepada tuan Tjoa Tjeng Jang. Tapi semua itu cuma semacam nasehat dan orang yang sedang berkabung itulah yang mempunyai hak untuk menurutinya atau menolaknya.

Bagaimana pendapat para pembaca tentang perubahan yang digagas oleh para pengurus THHK ini ? Saya sengaja menghentikan dulu tulisan ini sampai disini untuk mengetahui reaksi para pembaca. Ini baru permulaan dari pro-kontra yang akan terus berlanjut. Jika para pembaca ada waktu luang, bolehlah urun rembug dan mendiskusikan mengenai hal ini.

Nanti tulisan saya berikutnya akan menjabarkan reaksi pada masa itu dan kemudian akan mengajukan gagasan-gagasan lain yang cukup menarik untuk dibahas dan ‘tidak ketinggalan jaman’ jika didiskusikan pada masa kini.

(Bersambung)

Tidak seperti agama-agama lain yang bersifat agresif dalam usahanya mendapatkan banyak pemeluk, agama Khonghucu lebih menekankan pada sikap membina diri sendiri (dan menghindari sikap menuntut orang lain). Karena itulah perkembangan agama Khonghucu (terutama perihal penyebaran ajaran maupun perkembangan jumlah penganutnya) agak sulit dilacak dengan pasti.
Dalam agama lain seperti Islam, Kristen, Buddha dan lain-lain yang umatnya gampang dikenali hanya dengan suatu ‘sumpah masuk agama’ misalnya pembaptisan di agama Kristen dan pembacaan kalimat syahadat di agama Islam, maka seorang penganut agama Khonghucu tulen sangat sulit untuk dikenali karena ‘Kekhonghucuan’ mereka diukur dalam perbuatan dan tingkah laku mereka sepanjang hidupnya. Karena itulah seorang penganut agama Khonghucu semasa hidupnya tidak ‘berani’ menyebut dirinya sebagai penganut agama Khonghucu karena hal ini akan dinilai sendiri oleh generasi-generasi sesudahnya.
Perkembangan umat agama Khonghucu mulai disorot dan banyak ditelaah setelah masuknya agama Kristen ke Tiongkok yang dengan agresifnya mencari penganut baru dan mendesak penganut agama Khonghucu. Awalnya misionaris Kristen yang pertama kali masuk ke Tiongkok mengakui bahwa di Tiongkok telah ada agama ‘asli’ (yakni agama Khonghucu) yang lengkap dengan tata cara ibadah yang sangat jauh berbeda dengan agama kristen yang mereka anut.
Tapi karena tujuan utama para misionaris Kristen ini adalah mengkristenkan Tiongkok, maka dimulailah segala upaya termasuk menghalalkan segala cara untuk mengalahkan agama asli ini dan bila perlu ‘memusnahkan’ keberadaan mereka dengan jalan mendiskreditkan mereka sebagai ‘aliran filsafat’ belaka dan bukanlah ajaran agama.
Adapun alasan mengapa ajaran agama Khonghucu ini tidak dimusnahkan sama sekali adalah karena mereka tidak bisa mengingkari bahwa ada nilai-nilai universal dalam ajaran agama Khonghucu yang bahkan mengilhami banyak cendekiawan Eropa untuk mengadakan pembaharuan di Eropa sendiri. Bahkan Gereja Katolik Roma sampai secara resmi mengakui Kong Zi sebagai salah seorang Santo seakan Beliau pernah berjasa bagi agama Katolik.
Adanya upaya agresif kaum Kristen inilah yang mendorong ‘kebangkitan’ agama Khonghucu untuk menghadapinya (walaupun tidak sampai menghalalkan segala cara termasuk menipu, memfitnah dan sebagainya) sesuai dengan tradisi agama Khonghucu itu sendiri.
Kebangkitan agama Khonghucu di Tiongkok (yang ketiga) sebenarnya dimulai oleh Zeng Guofan dan berpuncak pada gerakan reformasi yang digagas oleh Kang Youwei. Tapi seiring dengan gagalnya Reformasi 100 hari itu, dapat dikatakan kebangkitan agama Khonghucu di Tiongkok mengalami kegagalan dan baru sedikit tergugah kembali (walaupun dalam skala kecil) dengan slogan-slogan yang diucapkan Deng Xiaoping pada akhir tahun 1970-an.
Sebaliknya kebangkitan agama Khonghucu di Indonesia justru merupakan yang pertama kalinya dan sampai kini terus bergulat mencari jati dirinya. Sulit untuk menyebutkan secara pasti kapan agama Khonghucu pertama kali dibawa dari Tiongkok ke Indonesia. Seperti diuraikan diatas, ajaran agama Khonghucu tidak disebarkan secara agresif seperti halnya agama lain (terutama dari Timur Tengah). Ajaran agama Khonghucu diwariskan dari generasi ke generasi melalui bimbingan keluarga dimana seorang ayah akan memberikan teladan perbuatan kepada anaknya dan begitu seterusnya sang anak mewariskannya kepada cucunya.
Karena alasan inilah agama Khonghucu yang ‘terbawa’ ke Indonesia sudah bercampur baur dengan ajaran agama Buddha dan agama Dao. Seperti kata-kata Xun Zi, “Dalam hal penyajian makanan kepada orang yang sudah meninggal, seorang susilawan (penganut agama Khonghucu) menganggapnya sebagai perwujudan Laku Bakti dan penghalusan Kesusilaan seorang manusia, sebaliknya orang awam (masyarakat kebanyakan) menganggapnya berhubungan dengan roh-roh ataupun hal-hal takhayul lainnya.”
Orang-orang Tiongkok yang merantau hingga ke Indonesia mewakili banyak golongan. Semula mungkin hanya pedagang yang suka tantangan yang berani berlayar hingga ke Indonesia, tapi ada suatu masa dimana karena alasan politik, mereka kabur dari Tiongkok dan menyelamatkan diri ke Indonesia.
Ada sejarahwan yang mengatakan orang-orang jenis kedua ini biasanya balik ke Tiongkok setelah dirasa keadaan politik sudah berubah, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa semuanya berpikiran untuk kembali ? Tentulah ada diantara mereka yang mati di Indonesia, lelah berpolitik dan lalu menetap dengan tenang di Indonesia dan sebagainya.
Hingga abad ke 16, para Huaqiao Indonesia (Orang Tionghoa yang kemudian menetap di Indonesia) ini dapat hidup rukun berdampingan dengan orang pribumi dan dalam banyak kasus mereka telah berasimilasi dengan cara menikahi wanita setempat dan melahirkan Huaqiao peranakan (Huaqiao yang lahir di Indonesia). Justru dari sinilah muncul alkulturasi budaya dimana para Huaqiao peranakan ini selain diwarisi tradisi Tionghoa juga ditambahi dengan pelbagai tradisi setempat.
Dapat dikatakan para Huaqiao dan pribumi Indonesia hidup rukun hingga kedatangan bangsa Belanda yang kemudian menjajah Indonesia dan mulai menjalankan politik adu domba ‘Devide et Impera’ yang sangat keji dan tidak berperi kemanusiaan (bahkan sekalipun ditinjau dari sudut ajaran agama Kristen yang mereka anut).

Bangkitnya Kesadaran
Ada yang mengatakan bahwa gerakan Kebangkitan Agama Khonghucu di Indonesia dipicu oleh gerakan serupa di Tiongkok yang dimotori oleh Kang Youwei. Tapi sebenarnya tidak demikian. Perhatikan kurun waktu yang hampir sama sehingga hampir mustahil kesadaran kaum Khonghucu di Indonesia didorong oleh Kang Youwei. Kang Youwei baru termasyhur namanya karena dipercaya kaisar Guang Xu menjalankan Reformasi Seratus Hari pada tahun 1898, sebaliknya benih-benih kebangkitan agama Khonghucu di Indonesia sudah ada sebelum tahun itu.
Seperti disebutkan diatas, bangkitnya agama Khonghucu (termasuk di Indonesia) terutama adalah karena gerakan misionaris agama Kristen yang semakin agresif dan destruktif.
Pemerintah Kolonialis Belanda bahkan secara sengaja dan aktif ikut serta dalam hal ini seperti terlihat dalam gerakan ‘kristenisasi’ para Huaqiao. Tekanan terhadap para Huaqiao (yang kebanyakan beragama Khonghucu, Buddha atau Dao) yang tidak mau berpindah agama dan memeluk agama Kristen adalah berupa pembedaan golongan-golongan rakyat yang ditetapkan dalam pasal 6-10 dari Algemene Bepalingen van Wetgeving pada tahun 1848. Peraturan tersebut membedakan rakyat Hindia Belanda ke dalam dua golongan yaitu Eropa dan Bumiputera. Untuk menentukan golongan tersebut, agama digunakan sebagai ukuran. Mereka yang beragama Kristen dimasukkan ke dalam golongan Eropa, termasuk orang Indo­nesia yang beragama Kristen dimasukkan dalam golongan yang ‘dipersamakan’ dengan orang Eropa, dan semua orang yang tidak beragama Kristen ‘dipersamakan’ dengan orang Bumiputera (yang beragama Islam).
Walaupun tahun 1854, Pemerintah Belanda mengeluarkan “Regerings Reglement”, yang dalam pasal 109 agama tidak lagi menjadi ukuran. Tapi mereka tetap menjalankan politik adu domba antara para Huaqiao dan kaum pribumi.
Selain dijadikan sapi perahan (di bidang ekonomi), para Huaqiao juga dijadikan kambing hitam kemarahan pribumi Indonesia. Pemerintah Belanda sengaja mengeluarkan aturan baru dimana para Huaqiao dikelompokkan menjadi ‘masyarakat kelas 2’ sedang pribumi sebagai ‘masyarakat kelas 3’. Namanya saja ‘kelas 2’ padahal sesungguhnya mereka jauh lebih rendah daripada ‘kelas 3’. Kaum pribumi masih boleh memiliki tanah, tapi para Huaqiao tidak. Dalam segala urusan pengadilan, kaum pribumi selalu dimenangkan atas kaum Huaqiao. Inilah politik untuk ‘menenangkan’ hati kaum pribumi sehingga mereka tidak sadar negaranya telah dijajah tapi masih merasa ‘sedikit terhibur’ karena bisa ‘mengalahkan’ atau ‘melampiaskan semua kemarahan dan kebencian’ kepada si kambing hitam yang dijuluki ‘masyarakat kelas 2’ ini.
Imbas politik adu domba ini bahkan masih terus dilakukan oleh pemerintahan rezim Orde Baru dan para Huaqiao masih sering dijadikan kambing hitam setiap kali pemerintah Orba gagal untuk mensejahterakan rakyat. Bahkan ketika Suharto dipaksa mundur karena tidak bisa mengendalikan keruntuhan ekonomi, ada konspirasi jahat untuk mengkambinghitamkan para Huaqiao Indonesia hingga terjadi Tragedi Kemanusiaan tanggal 13-14 Mei 1998.
Pada kenyataannya, untuk kaum pribumi masih ada sekolah-sekolah sedangkan kaum Huaqiao sengaja dibodohkan dan dipersulit hingga tidak bisa bersekolah sama sekali (kecuali beberapa gelintir orang yang ‘beruntung’ memperoleh pendidikan karena orangtuanya dipekerjakan sebagai letnan/kapten Cina untuk kepentingan Belanda).

Tidak berhenti sampai disini, politik adu domba ini makin keras menekan para Huaqiao dengan diberlakukannya peraturan wijkenstelsel yang dikeluarkan pada tanggal 6 Juni 1866. Dalam peraturan tersebut antara lain disebutkan, pejabat setempat memerintahkan untuk menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah penempatan orang-orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya yang mudah diawasi. Penempatan tersebut merupakan keharusan dan mereka yang akan tinggal di luar wilayah yang sudah ditentukan harus mendapat izin dari pejabat Hindia Belanda setempat. Bagi golongan penduduk Timur Asing yang melakukan pelanggaran dan tetap tinggal di luar wilayah yang ditentukan akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar f25-f100 dengan diberi batas waktu tinggal. Apabila batas waktu tinggal tersebut telah habis maka mereka harus masuk dalam wilayah yang telah ditentukan, kalau perlu dengan paksaan.
Strategi pengkotakan tersebut menyebabkan mengelompoknya orang-orang Tionghoa pada satu tempat dan memisahkan mereka dari penduduk asli maupun etnis asing yang lain. Tujuan dikeluarkannya peraturan itu adalah untuk mengisolir bangsa pendatang agar tidak dapat langsung berbaur dengan penduduk asli yang dikhawatirkan akan bersatu dan mengancam kedudukan Belanda. Selain itu, dengan memusatnya pemukiman orang-orang Tionghoa akan memudahkan dalam pengawasan terhadap kegiatan mereka.
Sistem ini dipaksakan berlaku oleh pemerintah Belanda dan para Huaqiao tidak punya kekuatan untuk melawannya. Tapi selalu dikatakan bahwa para Huaqiao senantiasa bersifat eksklusif dan tidak mau bergaul dengan kaum pribumi sehingga menimbulkan kebencian semakin dalam di pihak pribumi terhadap si ‘kambing hitam’ Huaqiao ini.
Mungkin pada masa itu, kaum pribumi yang dijajah kaum kolonialis ‘masih cukup naif’ untuk dibodohi oleh politik adu domba ini, tapi nyatanya setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan bisa mengatur negerinya sendiri serta berkuasa membuat segala macam peraturan dan undang-undang, tapi rezim Orba masih saja sering mendengung-dengungkan stigma eksklusif ini untuk menutupi ketidakmampuannya untuk mensejahterakan rakyatnya.
Selain peraturan wijkenstelsel, pemerintah Belanda juga mengeluarkan peraturan pas-senstelsel yang berlaku sejak tahun 1816 yang mengharuskan bagi orang-orang Tionghoa me-mbawa kartu pas jalan untuk mengadakan perjalanan ke luar daerah. Peraturan pas ini sangat membatasi ruang gerak orang-orang Tionghoa, karena mereka tidak bebas pergi ke luar daerahnya untuk melakukan aktivitas perdagangan dan hanya beraktivitas di daerah Pecinan saja.

Seperti halnya sebuah kandang yang dihuni hewan ternak dalam jumlah sangat banyak (jauh melebihi kapasitas kandang itu), bisa dikatakan daerah ‘pecinan’ itu bukanlah habitat hidup yang sehat bagi para Huaqiao. Dalam keadaan seperti itu, moral generasi muda Huaqiao menjadi semakin rendah hingga terjerumus dalam keadaan sesama Huaqiao saling menekan Huaqiao sendiri. Premanisme terjadi dalam lingkungan ‘Pecinan’ yang sudah bobrok dan penuh sesak (Bagaimana mungkin preman Huaqiao ‘berani’ mengacau di luar wilayah pecinan, selain karena sulit untuk keluar, mereka juga akan selalu dikalahkan dalam urusan pengadilan melawan pribumi).

Seperti pepatah menyebutkan : “Sesuatu yang sudah mencapai puncak akan segera membalik’. Kaum pribumi karena ‘lebih dimanja’ dan dibuai oleh ‘kemenangan palsu’ tidak mengalami titik ekstrem sehingga keinginan untuk membalikkan keadaan belum muncul seperti halnya kaum Huaqiao yang sudah semakin tersudut.
Dalam keadaan serba terdesak seperti itulah benih-benih kebangkitan agama Khonghucu mulai ditaburkan. Pada tahun 1897 (setahun sebelum Kang Youwei terkenal), Lie Kim Hok memulai penerbitan sebuah buku mengenai kehidupan Nabi Kong Zi. Buku tersebut berbahasa Melayu dan menggunakan sumber-sumber dari Eropa ! (bukan dari Tiongkok)
Lie Kim Hok (1853 – 1912) ini adalah Huaqiao-Indonesia yang sempat menikmati pendidikan di sekolah zending yang misi utamanya adalah ‘mengkristenkan’ rakyat Hindia Belanda. Lie Kim Hok termasuk murid yang pandai dan mempunyai hubungan yang dekat dengan para gurunya seperti zendeling C. Albers dan D.J. van der Linden. Lie Kim Hok bahkan pernah bekerja pada percetakan Zending yang khusus menerbitkan buku-buku Kristen. Tapi Lie Kim Hok tidak pernah menjadi Kristen dan bahkan kelak menjadi pembela Agama Khonghucu yang pertama-tama dari serangan agama Kristen.
Setahun kemudian, gerakan reformasi Kang Youwei di Tiongkok makin menyuburkan dan mempercepat kebangkitan agama Khonghucu di Indonesia. Walaupun nasib ‘Reformasi 100 hari’ sangat singkat dan ‘disabotase’ oleh Janda Ci Xi yang lalim, tapi bangkitnya agama Khonghucu sudah tidak terbendung lagi.
Beberapa Huaqiao di Batavia yang cukup terpelajar dan berpandangan luas mulai memikirkan perlunya perubahan yang mesti dilakukan terhadap kalangan Huaqiao sendiri. Pada awal tahun 1900, Sukabumische Snelpers Drukkerij di Sukabumi telah menerbitkan terjemahan bahasa Melayu dari kitab ‘Thai Hak’ (Ajaran Besar) dan ‘Tiong Yong’ (Tengah Sempurna) yang dikerjakan oleh Tan Ging Tiong dengan dibantu oleh Yoe Tjai Siang.
Dalam kata pengantar tertanggal 24 Februari 1900 yang terdapat dalam kedua kitab terjemahan itu, Tan Ging Tiong menulis sebagai berikut : ‘Pada tanggal 24 Desember 1899 kami telah menemui tuan Liem Boen Keng di Singapura. Dalam pertemuan itu, tuan Liem Boen Keng yang telah mendirikan Khong Kauw Hwe (Perhimpunan Agama Khonghucu) di Singapura dan Malaka mengatakan bahwa hingga kini belum ada seorangpun yang sanggup menerjemahkan kitab ‘Thai Hak’ dan ‘Tiong Yong’ ke dalam bahasa Melayu dengan sempurna. Karena itu ia mengharap jika terjemahan kami sudah selesai dicetak, dia berharap agar dia dikirimi satu untuk diperiksa oleh perkumpulan Khong Kauw Hwe yang didirikannya.’
Tuan Yoe Tjai Siang yang membantu Tan Ging Tiong, dalam kata pengantar yang tertanggal 15 Januari 1900 menganjurkan agar para Huaqiao di Jawa juga mendirikan satu perkumpulan yang bertujuan mempelajari agama Khonghucu. Anjuran ini dapat dilihat dalam catatannya sebagai berikut : ‘ … Maka untuk dapat memperdalam agama Khonghucu sebaiknya didirikan sebuah organisasi lengkap dengan para pengurusnya. Semua orang yang ingin bergabung dalam organisasi ini harus dipandang sebagai orang yang sungguh-sungguh mempunyai keinginan untuk belajar.’

Para Huaqiao yang cukup terpelajar mulai menyadari bahwa kekacauan budaya yang terjadi ini adalah karena lemahnya agama yang dianut oleh para Huaqiao ini sendiri. Para Huaqiao ini merasa perlu adanya agama atau semacam pelajaran moral yang kokoh (seperti halnya agama Islam atau Kristen) agar dapat digunakan sebagai pedoman pelatihan batin sekaligus memperbaiki kehidupan sosial dan sebagainya. Diantara orang-orang yang memiliki kesamaan pemikiran ini antara lain :
Phoa Keng Hek
Lie Hin Liam
Lie Kim Hok
Khoe A Fan
Khouw Kim An
Khoe Siauw Eng
Khouw Lam Tjiang dan lain-lain.
Mereka berunding sepakat akan mendirikan satu perkumpulan yang diharapkan bisa menjadi pusat dari segala gerakan pembaharuan yang bertujuan untuk mengadakan perubahan dan perbaikan terhadap adat istiadat bangsa Tionghoa yang selama ini dijalankan para Huaqiao Indonesia secara salah kaprah.
Perkumpulan inilah yang kemudian diberi nama Tiong Hoa Hwe Koan (THHK). Awalnya Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) mempunyai tujuan utama untuk menyiarkan ajaran agama Khonghucu !
Awalnya THHK bertujuan memperbaiki adat istiadat yang dijalankan para Huaqiao dengan menjadikan agama Khonghucu sebagai dasarnya. Tapi dalam perkembangan selanjutnya, Phoa Keng Hek dan beberapa orang anggota THHK yang lain juga menggunakan sekolah-sekolah THHK ini sebagai alat untuk mendesak pemerintah Belanda agar menaruh perhatian terhadap pendidikan bagi para Huaqiao yang mana pada masa itu tidak dipedulikan sama sekali oleh pemerintah penjajah ini.

Sebelum kita membahas THHK lebih jauh. Ada yang perlu digarisbawahi tentang peran penting THHK (yang didirikan berdasarkan agama KHC ini) dan jasanya bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Tak lama setelah THHK berdiri di Batavia (sekarang Jakarta) yang segera diikuti oleh cabang-cabang THHK di pelbagai kota, perubahan ‘besar’ mulai nampak pada kalangan kaum Huaqiao. ‘Besar’ disini bersifat relatif, karena para Huaqiao tidak serta merta mengalami perubahan nasib 180 derajat, tetapi setidaknya mulai muncul kesadaran untuk memperbaiki keadaan hidupnya terutama melalui bidang pendidikan, bidang yang merupakan titik berat agama Khonghucu.
Sekolah-sekolah yang didirikan THHK tidak bisa dikatakan bermutu internasional seperti halnya SBI jaman sekarang, tetapi setidaknya kehadiran sekolah-sekolah THHK itu pada akhirnya berhasil ‘memaksa’ pemerintah Kolonialis Belanda untuk mendirikan sekolah HCS bagi para Huaqiao agar mereka tidak semakin ‘anti-pemerintah (Kolonialis)’. Berdirinya HCS dengan segera disusul pula dengan berdirinya HIS, sekolah untuk kaum Pribumi sebagai tandingan dari HCS.
Harus dicamkan bahwa berdirinya HIS ini bukan bertujuan untuk memajukan kaum pribumi melainkan kelanjutan dari siasat ‘adu domba’ dimana Pemerintah Kolonialis Belanda ingin menunjukkan bahwa mereka tetap lebih ‘concern’ pada kaum Pribumi ketimbang para Huaqiao yang telah dibangunkan HCS.
Bahkan THHK, dengan meminjam wibawa Kang Youwei yang datang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1903, telah mengumpulkan para ‘perkumpulan/kongsi rahasia’ para Huaqiao yang selama ini sering melakukan premanisme, tawuran, perkelahian antar sesama kaum untuk datang mendengarkan khotbah dari Tokoh Agama Khonghucu Tiongkok ini. Kwee Tek Hoay mencatat demikian :
Demikianlah pada suatu hari, para pengurus dari sekian banyak perkumpulan telah diundang datang untuk mendengarkan pidato dan nasehat dari Kang Youwei di gedung THHK. Orang-orang yang datang untuk mendengarkan pidato cendekiawan besar itu begitu banyak jumlahnya sehingga gedung THHK yang luas itu menjadi penuh sesak dan banyak pula yang tidak kebagian tempat, tidak bisa masuk ke dalam. Saking penuhnya tempat itu sehingga kaca-kaca jendela ada yang pecah karena orang-orang itu saling berdesak-desakan untuk bisa melihat langsung Kang Youwei.
Adapun hasil dari pertemuan akbar ini sangat memuaskan karena sejak itu antara pelbagai perkumpulan di Batavia tidak pernah terdengar saling bermusuhan apalagi sampai berkelahi, saling kepruk dan saling bacok seperti yang masih terjadi di Semarang dan tempat-tempat lain. Begitu hebatnya pengaruh Kang Youwei sehingga gerakan para triad ini seakan-akan langsung musnah dan baru beberapa tahun terakhir kembali muncul kembali walaupun sudah tidak sebengis dan seberbahaya seperti sebelum Kang Youwei datang.

Jika gerakan THHK itu tidak cukup ‘besar’, mengapakah dr Soetomo sampai menirunya dan lalu mendirikan Perkumpulan Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 ? Dalam Buku ‘Riwayat 40 Taon THHK Batavia’ disebutkan : ‘Tahun 1910, President Boedi Oetomo minta hadlirken vergadering’.
Tak apalah jika THHK tidak disebut sebagai ‘Organisasi Modern Pertama di Indonesia’, tapi apakah peran THHK (terutama peran Agama KHC sebagai dasarnya) untuk memicu ‘Kebangkitan Nasional’ Indonesia bisa dilupakan begitu saja ?
Presiden Soekarno, founding-father Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah lulusan HIS dan saya yakin beliau tahu benar akan jasa-jasa Agama KHC bagi bangsa Indonesia ini. Bahkan dalam pidato beliau juga kadang mengutip sabda-sabda Nabi Kong Zi. Jadi jika Peraturan Pemerintah No 1/Pnps/1965 menyebutkan Agama Khonghucu sebagai salah satu dari 6 agama di Indonesia, apakah itu mengherankan mengingat jasanya bagi bangsa Indonesia ?
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan bahwa kakeknya berjasa ikut berjuang merebut kemerdekaan, ayahnya berjasa mempertahankan kemerdekaan sedang jasanya sendiri yang dibanggakan adalah membela umat Khonghucu yang ‘tanpa alasan jelas’ dipersulit oleh rezim Orde Baru !

Jadi Berbanggalah kalian para Umat Agama Khonghucu ! Jadikan bulan Kebangkitan Nasional (bulan Mei) ini sebagai bulan Kebangkitan Umat Khonghucu di Indonesia. Teruslah memacu diri !
‘Jika suatu hari dapat memperbaharui diri, berusahalah agar tetap baharu untuk selama-lamanya !’

— jimmy kosasih <jimmy.kosasih@yahoo.co.id>  tanya :

> kalo togel apa boleh dilakukan junzi? bukankah togel juga merupakan kreatifitas kita untuk memprediksi nomer yang bakal muncul? dan prosesnya sangat rumit (bukan berarti saya pemain togel).

jawab :

Kalo togel dilarang, tapi kalo SDSB boleh. Mau tahu alasannya ? Karena togel sudah jelas-jelas singkatan dari Toto Gelap sedang SDSB singkatan Suharto Datang Semua Beres ! (just kidding, ini adalah jawaban ala Orde Baru)

Anda pernah membaca Mahabharata dan Bharatayudha nggak? Peperangan antara Pandawa dan Kurawa itu dipicu karena permainan judi (dadu). Dalam permainan itu
Pandawa sampai menjual istrinya (Drupadi) yang kemudian coba ditelanjangi oleh Dursasana. Jika dikatakan Pandawa itu simbol kesucian dan kebenaran, mengapa mereka sampai mau bermain judi ? Ada orang yang mengatakan bahwa seorang ksatria tidak boleh menolak tantangan lawan termasuk jika tantangan itu adalah bermain judi. Bagaimana menurut anda ?

Sebenarnya agama KHC itu tidak seperti agama lain yang kaku dan mempunyai sejumlah aturan yang keras (sehingga kadang nabinya sendiri tidak bisa menjalankan !) tapi dipaksakan untuk berlaku bagi umatnya. Agama KHC tidak dilengkapi dengan 10 perintah
Allah atau serangkaian fatwa yang bersifat mengikat. Nabi Kong Zi mengajarkan tentang Kesusilaan dan Kebenaran bukan halal atau haram. “BagiKu tiada sesuatu yang mesti boleh atau mesti tidak boleh.”(Sabda Suci XVIII.8:5)

Disini saya tidak akan membicarakan togel (terbatas pada satu jenis permainan) melainkan membicarakan judi (ruang lingkup yang lebih luas). Apakah anda setuju
jika saya katakan bahwa berdagang itu sama dengan berjudi ? Orang membeli barang (untuk dijual lagi) tentu dengan perhitungan akan bisa mendapatkan untung. Tentu selalu ada resiko harga barang itu bisa turun dan dia bisa merugi. Sama juga dengan judi yang ada kemungkinan menang dan juga kalah.
Bangsa Indonesia ini sebenarnya sudah terjangkiti sikap munafik ! Undian bisa dianggap judi jikaberhadiah uang sedang jika berhadiah barang tidak dikategorikan judi ! Lho aneh bukan ? (Atau saya salah dalam mengartikan kata munafik.) Karena itulah ada
anekdot : Seorang kyai diberitahu bahwa anaknya main judi, dia langsung berseru ‘Astafirullah’, tapi ketika orang itu melanjutkan “Dia menang pak kyai”, kyainya
langsung menyahut, “Alhamdullilah.”

Sebenarnya yang menjadi momok dari judi ini bukanlah hadiah uang atau barang melainkan sifatnya yang membuat ketagihan. Jika untuk berdagang orang harus
memeras tenaga dan membutuhkan waktu untuk meraih keuntungan sedangkan judi ini bisa mendapatkan keuntungan dengan cara yang sangat mudah dan cepat.
Orang yang malas akan menjadi ketagihan dan jatuh dalam perangkap judi yang memabukkan. Jika hartanya saja yang musnah, itu tidak jadi masalah. Tapi
bagaimana jika sampai merugikan orang lain ? (anda tentu tahu maksud saya).

Di dunia ini segala hal jika dilakukan secara berlebihan pasti akan berakibat buruk. Karena itulah umat KHC diberi ajaran Zhong Yong (Tengah Sempurna). Seperti halnya minuman keras, apakah anda bisa menahan diri tidak sampai mabuk, apakah anda juga bisa menahandiri tidak sampai ‘gila’ judi hingga melupakan semuanya termasuk Kesusilaan dan sikap Tengah ?

Menjaga sikap Tengah ini tidak gampang lho ! Karena itu bagi yang tidak mengenal togel/judi, sebaiknya jangan coba-coba mengenalnya. Menjadi orang buruk itu
cukup 1 jam bisa jadi orang buruk, tapi menjadi baik itu sulit. Melakukan perbuatan baik selama 10 tahun belum  tentu bisa disebut orang baik ! camkan ini !

Derajat Pria dan Wanita

March 5, 2008

Tanya :apakah menurut ajaran Konghucu sama dengan ajaran Islam yang mengakui bahwasannya laki-laki kedudukannya satu derajat lebih tinggi ketimbang wanita?

Jawab :

‘Ren Zhi Chu, xing ben shan. Xing xiang jin, Xi xiang yuan.’ Ini kalimat pertama dalam kitab San Zi Jing,karya Wang Yinglin, murid dari Zhu Xi yang kemudianmenjadi buku pelajaran pertama bagi anak-anak di seluruh Tiongkok sejak masa dinasti Song. Artinya :
Pada awalnya manusia, Watak Sejatinya itu Baik. WatakSejati saling mendekatkan, tapi Kebiasaan-lah yang menyebabkan (manusia) saling menjauh.

Jadi sejak kanak-kanak sudah diajarkan dalam agamaKhonghucu bahwa tidak ada perbedaan (derajat) antar umat manusia. Siapa saja bisa menjadi seperti Yao atau
Shun. Memang ada perbedaan tugas antara pria dan wanita 夫婦有別 (fu fu you bie), tapi tidak pernah ada ajaran yang merendahkan derajat wanita.

Lima Hubungan Kemasyarakatan ada menyebutkan hubungan antara Suami Istri. Harus diingat bahwa hubungan yang disebut pertama dengan yang disebut kedua sebenarnya
bersifat timbal balik dan tidak searah (sistem komandoseperti militer). Jadi Suami ada hak dan kewajiban, istri juga ada hak dan kewajibannya. Tidak bisa menekan pihak istri (wanita) dengan mengatakan suami lebih berkuasa karena hubungan itu harus bersifat
timbal balik.
Jika seorang pria bertindak sewenang-wenang terhadap wanita yang telah dinikahinya, maka dia tidak layakdisebut sebagai ‘suami’, begitu juga sebaliknya.

Masyarakat Tiongkok menganut sistem patriakhi, tapi bukan berarti wanita tidak punya derajat atau bisa dipaksa. Bahkan sering kita dapatkan cerita, seorang jendral gagah perkasa dan ditakuti musuh di medanperang ternyata tidak berani menghadapi istrinya di
rumah. Saya juga tidak mengatakan keadaan ini ideal,tapi kenyataannya demikianlah keadaan riil dari masyarakat Tiongkok. Ada pepatah Tiongkok yang menyebutkan bahwa seorang istri itu adalah ‘Anjing di luar rumah tapi harimau di dalam rumah’ !

Jadi tidak benar jika wanita satu derajat dibawah laki-laki. Tidak hanya sebatas teori saja, kenyataan juga membuktikan demikian. Apakah menurut anda di jaman modern seperti ini, masih ada wanita yang tidak dianggap manusia ? Sungguh menyedihkan sekali !

tanya :

> kebaktian yang saya tahu adalah seperti proses
> belajar di kelas-kelas, tapi sang murid nggak bisa
> nanya. apakah kebaktian diwajibkan didalam agama
> Konghucu?

jawab :

Sudah anda jawab sendiri bahwa kebaktian seperti
proses belajar di kelas-kelas. Menurut anda proses
belajarnya itu wajib/tidak ? Nah, tidak selamanya
belajar harus selalu dikelas khan ? Kebaktian di
Lithang adalah proses pengajaran dan penjelasan
ayat-ayat suci oleh para rohaniawan yang dianggap
lebih tahu ketimbang umat biasa. Dimana kita bisa
bertemu dengan rohaniawan (dan mendengarkan dia
berkhotbah) jika tidak di lithang ?
Kehadiran anda di acara Kebaktian di Lithang jelas
merupakan kesempatan untuk mendengar penjabaran ayat.
Lain dengan kebaktian di gereja yang jika umatnya
tidak hadir maka dianggap berhutang atau berdosa.
Tidak hadir di lithang berarti anda kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan pengajaran (seperti
seorang mahasiswa yang mbolos kuliah) tapi tidak ada
sanksi dosa dan lain sebagainya.

tanya :

jika ya, di kitab mana disebutkan adanya
> kebaktian, lebih-lebih ada nyanyian-nyanyian persis
> suasana gereja pada hari minggu.

jawab :

Lho bukankah Nabi Kong Zi mengajarkan murid-muridnya
tentang Musik ? Meng Zi bahkan merupakan orang pertama
yang mengangkat fungsi musik lebih dari sekedar
‘ungkapan jiwa’ menjadi alat untuk berbuat Kebajikan.
Anda jangan meremehkan fungsi lagu-lagu gereja. Ada
beberapa lagu gereja yang begitu ‘menghipnotis’
umatnya sehingga saat mereka pergi ke gereja dan
bernyanyi, maka semua kegalauan hati dan masalah rumah
tangga yang menumpuk seolah hilang begitu saja diganti
dengan sukacita ‘memuji tuhan’. Tentu saja setelah
pulang ke rumah, semua masalah itu akan muncul kembali
dan tidak terpecahkan karena lagu-lagu gereja itu
menjadi semacam pelarian belaka.
Saat ini dunia sedang dilanda Karaoke. Tahukah anda
mengapa Karaoke ini begitu digemari ? Persis seperti
lagu gereja itu. Coba saja jika anda punya masalah dan
anda diliputi perasaan marah, kesal tapi tidak bisa
diungkapkan. Cobalah anda berkaraoke, pilih lagu yang
reference-nya sangat tinggi (memungkinkan anda
berteriak-teriak) . Dijamin setelah menyanyi, anda akan
sedikit lega karena ada sarana untuk melampiaskan apa
yang tersimpan di dada ! (ini baru satu dari manfaat
Karaoke yang disebutkan disini).
Jika saya mengikuti kebaktian dan tiba saat untuk
menyanyi, saya lebih senang menilai lagu itu dari sisi
enak-tidaknya lagu itu di telinga saya. Jika enak, ya
saya ikut nyanyi sekaligus memuji kalo pengarangnya
pasti orang yang berbakat seni. Gitu lho. enteng khan.
Jika acara nyanyi-nyanyi dihapuskan, lalu kapan umat
KHC bisa belajar musik ? Kasih jalan keluar dong dulu,
baru usulan anda dimajukan ke MATAKIN.

tanya :

> jika jawaban tidak, kenapa kita terpatok pada aturan
> main matakin? jika memang tidak diwajibkan, mestinya
> ada semacam forum diskusi seperti nabi mengajarkan
> murid-muridnya dimana saja dan kapan saja,
> sampai-sampai pada saat di tengah medan perang nabi
> Konghucu masih mengajarkan kepada murid-muridnya.
> (cmiiw).

jawab :

Maunya saya juga ada forum diskusi seperti itu.
Website MATAKIN ada tulisan forum diskusi, tapi
bagaimana bentuknya ? Kalo dilink ke
Pakin.proboards81. com pengasuhnya juga kurang berani
berargumen. (Setidaknya seperti sayalah ! 🙂 Pantang
Malu he he he)

Dimana saja dan kapan saja ? Apa maksud anda ? Apakah
anda mengharapkan ada seorang Nabi yang lahir dijaman
ini ? Ataukah anda ingin ada layanan SMS REG_KHC
semacam itu ?
Kalo yang kedua saya sangat tidak setuju. Layanan SMS
itu mengeluarkan biaya dan bersifat komersil. Padahal
yang diperjualbelikan adalah ayat suci Nabi Kong Zi.
Entah kalo umat lain mau menjualbelikan ayat, itu
urusan mereka. Kalo saya punya idealisme. Ayat Suci
kok dibuat cari uang. Mau dihargai berapa ? Kalo saya
memungut biaya serupiah sekalipun, berarti saya telah
membuang idealisme saya. Saat itu silahkan anda
mencaci maki saya, saya akan keluar dari group ini
karena malu menyandang nama junzigroup.

Kalo opsi pertama juga sulit. Tapi selalu ingat sabda
Nabi “Setiap kali jalan bertiga, selalu ada yang
kujadikan guru”. Tidak perlu menunggu seorang Nabi,
kita selalu bisa belajar dari kelebihan atau kelemahan
seseorang. Yang baik harus ditiru dan yang buruk untuk
dibuat berkaca, apakah diri sendiri seperti itu atau
tidak.